Ajaan Lee Dhammadharo 1

 


OTOBIOGRAFI 

Ajaan Lee Dhammadharo

~

Aku dilahirkan pada pukul sembilan malam, di hari Kamis, tanggal 31 

Januari tahun 1907 – pada hari ke dua bulan sabit, penanggalan bulan 

ke dua, tahun kuda, di Baan Nawng Sawng Hawng, kotamadya Yaang 

Yo Phaab, daerah Muang Saam Sib, propinsi Ubon Ratchathani. Suatu 

pedesaan dengan sekitar delapan puluh rumah, yang terbagi menjadi 

tiga bagian yaitu desa kecil, desa bagian dalam, dan desa bagian luar. 

Di desa bagian luar ada  satu vihara; aku dilahirkan di desa itu. 

Di antara desa itu ada  tiga kolam, dan dikelilingi oleh sejumlah 

pohon karet raksasa. Di bagian utara ada  puing-puing peninggalan 

kota tua dengan dua altar Buddhist terlantar. Makhluk halus di sana 

sangat menakutkan, mereka kadang-kadang merasuki orang. Dari 

reruntuhannya, dapat aku katakan peninggalan itu dibangun oleh 

suku Khmer.

Nama asliku yaitu  Chaalee. Orang tuaku bernama Pao dan Phuay 

Nariwong; kakek dan nenek dari ayahku bernama Janthaari dan Sida; 

dan dari ibuku bernama Nantasen dan Dee. Aku memiliki  lima 

saudara laki-laki dan empat saudari perempuan. Sekitar sembilan hari 

sesudah  aku dilahirkan, aku sangat menyusahkan – menangis sepanjang 

waktu – bahkan sampai ayahku meninggalkan rumah demi kebaikan. 

Tiga hari sesudah  ibuku tidak memasak1, kepalaku sakit sekali, dan 

tidak bisa makan atau tidur selama beberapa hari. Aku merupakan 

anak yang sangat sulit untuk dibesarkan. Tidak ada satu pun yang ayah 

maupun ibuku lakukan dapat memuaskan aku. 

Ibuku meninggal saat aku berusia sebelas tahun, meninggalkan ayah 

dan diriku serta seorang adik perempuan kecil yang harus aku rawat. 

Saudara lelakiku dan saudara perempuanku yang lain telah dewasa 

dan meninggalkan rumah untuk bekerja. Jadi hanya kami bertiga yang 

ada di rumah. Aku dan adikku membantu ayah di sawah.

Ketika aku berusia dua belas tahun, aku masuk sekolah. Aku belajar 

membaca dan menulis dengan nilai yang cukup, tetapi gagal dalam 

ujian dasar, hal ini tidak masalah bagiku, tetapi bagaimanapun juga 

aku tetap harus belajar. Pada usia tujuh belas tahun, aku meninggalkan 

sekolah dengan tujuan utama mendapatkan uang. 

Selama masa ini, ayah dan aku selalu berselisih pendapat. Ia ingin 

aku berdagang yang menurutku tidak pantas untuk diperdagangkan, 

seperti babi dan ternak. Pada suatu saat, ketika aku ingin berdana ke 

vihara, ia berdiri menghadang jalanku dan menyuruhku segera kembali 

bekerja di sawah. Aku sangat sedih, lalu terlintas dalam pikiranku, 

“aku bersumpah tidak akan terus tinggal di desa ini. Apa pun yang 

terjadi, aku harus menerima dengan lapang dada.”

Kemudian ayah menikah lagi dengan wanita yang bernama Mae Thip. 

Kehidupan rumah tangga menjadi lebih baik.

Ketika berusia delapan belas tahun, aku mencari kakak laki-laki tertua, 

yang telah bekerja di Nong Saeng, propinsi Saraburi. Berita yang sampai 

di rumah bahwa Ia bekerja di departemen irigasi yang membangun 

pintu air. Pada bulan Oktober, aku pindah ke tempat saudaraku. Tak 

beberapa lama kemudian kami bertengkar, karena ia hendak pulang 



kampung. Ia meninggal dalam perjalanan pulang. Tinggal aku seorang 

diri, kemudian aku menuju ke wilayah Selatan mencari pekerjaan. Saat 

itu, aku merasa bahwa uang memiliki arti penting dalam kehidupanku. 

Meski secara fisik aku sudah dewasa, aku masih berpikir bahwa diriku 

masih anak kecil. Pada suatu saat, temanku mengajak keluar untuk 

bersama-sama mencari wanita, tapi sedikit pun aku tidak tertarik, 

karena aku merasakan pernikahan itu yaitu  untuk mereka yang 

dewasa bukan untuk anak-anak sepertiku.

Dari apa yang telah aku lihat dalam kehidupan ini, aku telah membuat 

dua keputusan yang harus aku jalankan, yaitu:

1)  Aku tidak akan menikah sampai aku berusia kurang dari tiga puluh 

tahun. 

2) Aku tidak akan menikah kecuali jika aku memiliki  sedikitnya 

tabungan lima ratus Baht. 

Aku memutuskan, aku harus memiliki kedua-duanya, uang dan 

kemampuan untuk menghidupi minimal tiga orang sebelum aku 

memutuskan untuk menikah dengan seorang wanita. Tetapi ada alasan 

lain keenggananku akan pernikahan. Selama masa kanak-kanak, pada 

masa dimana aku mulai mengetahui soal tersebut, ketika aku melihat 

seorang wanita hamil yang akan melahirkan. Aku merasa ketakutan 

dan jijik. Hal ini dikarenakan kebudayaan setempat saat seorang 

wanita akan melahirkan, dia akan diikat di kasau*, wanita tersebut 

akan berlutut, lalu memegang erat-erat tali tersebut dan melahirkan. 

Beberapa wanita akan menjerit dan merintih, seluruh tubuh dan wajah 

mereka sakit sekali. Ketika melihat hal ini, aku lari dengan menutup 

telinga dan mata. Aku tidak dapat tidur karena rasa takut dan jijik. 

* kayu (bambu) yang dipasang melintang seakan-akan merupakan tulang rusuk pada atap ru-

mah (KBBI)*ed

~ 4 ~


Peristiwa ini memicu  kesan yang mendalam dan berlangsung 

lama pada diriku. 

Ketika aku berusia antara sembilan belas atau dua puluh tahun, 

aku mulai mengerti tentang kebaikan dan kejahatan, tetapi aku 

tidak melakukan kejahatan. Aku tidak pernah membunuh hewan 

yang besar, kecuali seekor anjing. Dan aku masih ingat bagaimana 

peristiwa itu terjadi. Pada suatu hari, ketika aku sedang makan, aku 

mengambil satu butir telur dan meletakkannya di atas panggangan. 

Anjing itu datang, menemukan telur dan memakannya. Lalu aku 

melompat, meraih pentungan dan memukulnya sampai mati. 

Segera, aku menyesal atas apa yang telah aku lakukan. Aku berpikir, 

“Bagaimana bisa aku melakukan kejahatan ini?” Kemudian aku 

menemukan satu buku tua yang berisikan parita untuk pelimpahanan 

jasa kebajikan dan aku menghafalkannya. Lalu aku pergi menghadap 

rupang Buddha, bernamaskhara mempersembahkan jasa kebajikanku 

kepada anjing yang mati tadi. Hal ini membuat aku merasa lebih baik. 

Karena keseluruhan ingatan akan peristiwa itu membuat aku ingin 

ditahbiskan.

Pada tahun 1925, ketika aku berusia dua puluh tahun, ibu tiriku 

meninggal. Pada waktu itu, aku tinggal bersama dengan sanak 

keluargaku di daerah Bang Len, propinsi Nakhorn Pathom. Di akhir 

bulan Februari, aku pulang menghadap ayahku dan mohon kepadanya 

untuk mendukung penahbisanku. Aku tiba dengan sekitar seratus 

enam puluh Baht di dalam saku. Segera sesudah  kedatanganku, kakak 

laki-laki pertama, saudari perempuan, saudara ipar, dan yang lain-

lainnya mendatangiku dan mereka meminjam uang untuk membeli 

kerbau, lahan sawah, dan juga untuk berdagang. Aku memberikan 

semua yang mereka pinta, karena aku sedang merencanakan untuk 

~ 5 ~


ditahbiskan. Akhirnya dari uang sejumlah seratus enam puluh Baht, 

kini tinggal empat puluh Baht.

Saat masa penahbisan tiba, ayahku mempersiapkan semua yang 

diperlukan. Aku ditahbiskan di bulan purnama, hari ke enam 

penanggalan bulan, saat Visakha Puja. Seluruhnya berjumlah sembilan 

orang termasuk aku yang ditahbiskan pada hari itu. Dari jumlah 

tersebut, beberapa meninggal dunia, beberapa orang lepas jubah. 

Hanya tinggal dua orang saja yang masih sebagai bhikkhu, yaitu aku 

sendiri dan seorang sahabatku.

sesudah  penahbisan, aku menghafalkan parita-parita, mempelajari 

Dhamma dan Vinaya. Membandingkan dengan apa yang kupelajari 

dalam kehidupan dan dengan bhikkhu-bhikhu yang ada membuatku 

sangat tidak nyaman, karena selain merenungkan mengenai 

kehidupan, kami keluar untuk bersenang-senang: main catur, bergulat, 

bermain-main dengan wanita, memelihara burung, menyabung ayam, 

terkadang makan dimalam hari.2 Berbicara mengenai makan di malam 

hari, dalam kehidupan sosialku dimana aku bergabung – sepanjang 

yang dapat kuingat – tiga kali: 

1) Suatu hari aku merasa lapar, tengah malam aku mengambil nasi 

persembahan di atas altar dan memakannya. 

2)  Pada waktu yang lain, aku diundang untuk membantu upacara 

Mahachaad3 di Wat Noan Daeng, di kota praja Phai Yai. Peristiwa 

itu dimulai pada saat giliranku untuk berkhotbah pada pukul 

sebelas pagi. Pada saat aku menyelesaikannya, sudah lewat tengah 

hari, jadi sudah terlambat untuk makan. Dalam perjalanan pulang 

aku ditemani oleh seorang upasaka kecil yang membawa nasi dan 

ikan panggang di dalam tas pundaknya. Sekitar pukul satu siang, 

~ 6 ~


aku benar-benar merasa lelah dan lapar. Aku meminta kepadanya 

untuk menunjukkan apa yang ada di dalam tas pundaknya itu. 

Melihat makanan itu, aku tidak bisa menahan diri lalu duduk di 

bawah keteduhan pohon dan menghabisi makanan itu. Kemudian 

aku pulang ke vihara.

3)  Pada suatu hari, aku pergi ke hutan untuk membantu menarik kayu 

yang akan dipergunakan untuk membangun ruang pertemuan. 

Pada malam harinya aku merasa lapar, kemudian aku menyantap 

makanan.

Aku bukan satu-satunya orang melakukan hal semacam ini. Teman-

temanku juga melakukan hal serupa sepanjang waktu, tetapi selalu 

menutupi perbuatan itu dengan baik. 

Pada masa-masa tersebut hal yang paling tidak kusukai yaitu  

diundang untuk membacakan parita di upacara pemakaman. Waktu 

usiaku lebih muda, aku tidak akan pernah mau makan di rumah 

yang penghuninya baru saja meninggal. Meskipun seseorang tinggal 

di rumah yang sama dengan aku, pergi untuk membantu upacara 

pemakaman. Saat ia pulang, aku akan melihat dengan waspada dari 

keranjang mana ia akan makan nasinya dan dari gayung yang mana 

ia akan minum airnya. Aku tidak akan mengatakan apa pun, tetapi 

aku akan berhati-hati untuk tidak makan dari keranjang atau minum 

dari gayung itu. Bahkan sesudah  aku ditahbiskan, kebiasaan ini masih 

melekat dalam diriku. Aku berusia sembilan belas tahun, saat aku 

pertama menginjakkan kaki ke tanah pekuburan. Walaupun sanak 

keluarga meninggal – walaupun ketika ibuku sendiri meninggal – aku 

menolak pergi ke tempat kremasi jenazah. 

Pada suatu hari, sesudah  ditahbiskan, aku mendengar orang-orang 

~ 7 ~


menangis dan meraung-raung di dalam desa. Seseorang meninggal. 

Tidak beberapa lama kemudian, aku melihat seseorang membawa 

bunga, dupa dan lilin, memasuki vihara untuk mengundang para 

bhikkhu untuk membacakan parita di rumah orang yang meninggal. 

Segera ia masuk ke dalam ruangan kepala vihara, aku melarikan diri 

ke arah sebaliknya, diikuti oleh sebagian dari bhikkhu yang baru saja 

ditahbiskan. Ketika kami mencapai pohon mangga, kami berpencar 

dan memanjat pohon lalu duduk di sana, bertengger pada dahan 

pohon, duduk diam. Tidak lama kemudian kepala vihara mencari 

kami, tetapi ia tidak bisa menemukan kami. Aku bisa mendengar ia 

marah-marah. Ada satu hal yang aku takutkan bila ia menggunakan 

ketapel mengarahkannya ke pohon-pohon. Pada akhirnya, ia meminta 

seorang samanera untuk mencari kami. Samanera itu menemukan 

kami dan kami semua harus turun. 

Ini yang terjadi selama dua tahun. Kapan pun aku mempelajari 

buku vinaya yang berhubungan dengan biara, aku merasa gelisah. 

Aku merenung, “Jika kamu tidak ingin meninggalkan kehidupan 

kebhikkhuan, kamu harus meninggalkan vihara ini.” Pada permulaan 

masa vassa yang ke dua, aku bertekad, “Saat ini, aku bertekad 

melaksanakan ajaran-ajaran Sang Buddha dengan tekun. Semoga 

dalam tiga bulan yang akan datang, aku bertemu dengan seorang 

guru yang mempraktikkan Dhamma Sang Buddha dengan benar dan 

mulia.” 

Di awal November, aku pergi membacakan parita pada upacara 

Mahachaad di Wat Baan Noan Rang Yai, di kota praja Yaang Yo Phaab. 

Ketika aku tiba, seorang bhikkhu meditasi kebetulan berkotbah 

Dhamma. Aku sangat tertarik dengan cara ia berbicara, jadi aku 

bertanya kepada umat siapakah ia dan dari mana ia berasal. Mereka 

~ 8 ~


berkata, “beliau yaitu  Ajaan Bot, murid dari Ajaan Mun.” Beliau 

berdiam sekitar satu kilometer dari desa, di dalam hutan pohon karet 

raksasa, diakhir perayaan Mahachaad, aku menemuinya. Apa yang 

kulihat – cara hidupnya, tindak tanduk beliau – sangat memesonaku. 

Aku bertanya kepada beliau, siapakah gurunya. Beliau menjawab, “Phra 

Ajaan Mun dan Phra Ajaan Sao. Saat ini, Ajaan Mun sudah turun dari 

Sakon Nakhorn dan berdiam di Wat Burapha, di dalam kota Ubon.” 

Mengetahui hal ini, aku cepat-cepat kembali ke viharaku, dengan 

berpikir di sepanjang jalan, “Inilah yang aku nantikan.” Beberapa hari 

kemudian, aku pergi menghadap ayah dan bhikkhu pembimbingku 

mohon pamit. Pada mulanya, mereka melakukan apa saja untuk 

mencegahku, tetapi aku telah memutuskan, “aku harus meninggalkan 

desa ini,” aku berkata kepada beliau, “entah sebagai bhikkhu atau 

umat awam, aku harus pergi. Ayah dan bhikkhu pemimbingku tidak 

memiliki hak atas diriku. Saat pertama mereka mulai menyalahi hak 

atas diriku yaitu  saat pertama aku bangkit berdiri dan pergi.”

Dan pada akhirnya mereka biarkan aku pergi.

Saat sore hari, di awal bulan Desember, aku berangkat dengan membawa 

barang seperlunya, sendirian. Ayahku menyertai hingga sejauh tengah 

lapangan. Kemudian kami berpisah.

Hari itu aku berjalan sampai ke kota dari Muang Saam Sib, jalan yang 

menuju Ubon. Pada saat kedatanganku, aku diberitahu bahwa Ajaan 

Mun berdiam di desa Kut Laad, sekitar sepuluh kilometer di luar kota. 

Sekali lagi aku berjalan kaki untuk mencari beliau. Pada saat itu Phra 

Barikhut, seorang pejabat di kantor wilayah Muang Saam Sib yang baru 

dibebastugaskan dari kantor pemerintah sedang bepergian bersama 

keluarganya menggunakan truk, melewatiku. Melihatku berjalan 

~ 9 ~


sendirian, ia berhenti dan menawarkanku tumpangan. Ia menuju 

bandara udara Ubon, lalu berhenti pada belokan yang menuju Kut 

Laad dan memberikan petunjuk jalan selanjutnya kepadaku. Sampai 

saat ini aku berpikir betapa ia yaitu  orang yang baik hati, meskipun 

aku orang asing. 

Sekitar pukul lima sore, aku sampai vihara hutan di Kut Laad, di mana 

aku mendengar bahwa Ajaan Mun baru saja kembali ke Wat Burapha. 

Kemudian di pagi berikutnya, sesudah  sarapan pagi, aku berjalan 

kembali menuju Ubon. Di sana aku bernamaskhara kepada Ajaan 

Mun dan mengatakan kepada beliau tujuanku menemuinya. Beliau 

memberiku nasihat dan bantuan sesuai dengan yang aku cari. Beliau 

mengajarkan aku satu kata sederhana yakni “buddho”, sebagai objek 

perenungan meditasi. Pada saat itu, beliau sedang sakit, maka beliau 

mengirimku ke Baan Thaa Wang Hin, satu tempat yang tenang dan 

terpencil, di mana Phra Ajaan Singh dan Phra MahaPin berdiam beserta 

sekitar empat puluh bihikkhu dan para samanera lainnya. Saat berada 

di sana, aku mendengarkan khotbah-khotbah mereka setiap malam, 

yang memicu  dua perasaan dalam diriku. Ketika aku mengingat 

masa laluku, aku merasa gelisah; ketika aku membayangkan masa 

depan, aku sedang belajar dan menjalankannya, aku merasa damai. 

Dua perasaan ini selalu ada dalam diriku. 

Aku bersahabat dengan dua orang bhikkhu yang tinggal, makan, 

bermeditasi, dan berdiskusi pengalamanku bersama-sama, mereka 

yaitu  Ajaan Kongma dan Ajaan Saam. Aku bermeditasi siang dan 

malam. Kemudian aku bersama-sama pergi berjalan jauh dengan Ajaan 

Kongma. Kami pergi dari desa ke desa, berdiam di kuil peninggalan 

leluhur, sampai kemudian tiba di desaku. Aku ingin ayahku mendengar 

kabar baik bahwa aku telah bertemu Ajaan Mun, inilah kehidupan yang 

~ 10 ~


aku cari, dan aku tidak berkeinginan untuk kembali pada kehidupan 

dulu. Aku merenung, “Kamu telah lahir sebagai seseorang. Kamu 

harus berusaha agar lebih baik dibandingkan orang lain. Kamu telah 

ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Kamu harus mencoba untuk 

menjadi lebih baik daripada bhikkhu-bhikkhu yang kamu kenal.” 

Sekarang, sepertinya harapan-harapanku telah terpenuhi. Inilah 

alasanku pulang ke rumah untuk mengatakan kepada ayahku: “Aku 

datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku pergi demi kebaikan. 

Semua barang milikku akan kuserahkan kepadamu. Dan aku tidak akan 

meminta kembali terhadap apa pun kepunyaanmu.” Walaupun aku 

belum membuat keputusan teguh untuk tidak akan lepas jubah, aku 

telah memutuskan untuk tidak pernah membiarkan diriku menjadi 

lemah. 

Segera sesudah  bibiku mendengar berita, dia segera mengecamku: 

“Apakah hal tersebut tidak terlalu berlebihan?” Aku menjawab, “Jika 

aku lepas jubah dan kembali untuk memohon makanan darimu, aku 

mengijinkanmu untuk memanggilku seekor anjing.” 

Sekarang, aku telah membuat keputusan teguh, aku berkata kepada 

ayahku, “Jangan mengkhawatirkan diriku. Menjadi seorang bhikkhu 

maupun lepas jubah, aku cukup puas dengan harta benda yang ayah 

berikan padaku; dua mata, dua telinga, hidung, mulut, serta seluruh 

tiga puluh dua bagian tubuhku. Itulah warisan yang berharga. Aku 

sudah sukup puas.” 

sesudah  itu, aku mengucapkan selamat tinggal dan berangkat ke kota 

Ubon. Tiba di desa Wang Tham, aku menemukan Ajaan Mun berdiam 

di dalam hutan, lalu aku bergabung dalam bimbingannya selama 

beberapa hari. 

~ 11 ~


Aku memutuskan untuk ditahbis ulang, kali ini mengikuti sekte 

Dhammayutika (sekte dimana Ajaan Mun berasal). Aku membahas 

masalah ini dan beliau menyetujuinya. Dengan demikian, aku harus 

berlatih bagianku dalam upacara penahbisan. Ketika aku menguasainya, 

beliau pergi — diikuti olehku — mengembara dari daerah ke daerah. 

Aku menjadi pengikut Ajaan Mun yang taat, karena banyak hal yang 

mengagumkan dari kepribadian beliau. Sebagai contoh, sewaktu aku 

berpikir tentang suatu masalah, yang tidak kuceritakan pada beliau, 

dan kemudian beliau membawa topik pembicaraan tersebut dan 

terlihat mengetahui dengan tepat apa yang ada dalam pikiranku. 

Setiap kali peristiwa ini terjadi, rasa hormat dan taatku kepada beliau 

semakin mendalam. Aku berlatih meditasi terus menerus, bebas dari 

kecemasan yang menggangguku di masa lalu. 

sesudah  itu, aku berdiam di bawah bimbingan Ajaan Mun selama empat 

bulan. Beliau menetapkan tanggal untuk penahbisanku kembali di Wat 

Burapha, di kota Ubon, dengan Phra Pannabhisara Thera (Nuu) dari Wat 

Sra Pathum, Bangkok, sebagai pembimbingku; Phra Ajaan Pheng dari 

Wat Tai, Ubon, sebagai Guru Pentahbis; dan Ajaan Mun sebagai Guru 

Pengajar, yang menahbiskanku  sebagai samanera. Aku ditahbiskan 

kembali tanggal 27 Mei tahun 1927, dan di hari berikutnya aku mulai 

berlatih praktik pertapaan dengan ketat, yang hanya makan satu kali 

dalam sehari. sesudah  menghabiskan satu malam di Wat Burapha, aku 

kembali ke hutan Istana Batu Datar.

Ketika Ajaan Mun dan Phra Pannabhisara Thera kembali ke 

Bangkok untuk menjalankan masa vassa di Wat Sra Pathum, mereka 

meninggalkan aku dalam bimbingan Ajaan Singh dan Ajaan MahaPin. 

Selama masa ini, aku mengikuti Ajaan Singh dan Ajaan MahaPin, 

~ 12 ~


mereka mengembara dari desa ke desa. Mereka diminta oleh Phraya 

Trang, Pangeran Ubon, untuk mengajarkan kebajikan dan meditasi 

kepada penduduk di daerah pedesaan. Ketika masuk masa vassa, 

kami berhenti di Vihara KepalaLembu di daerah Yasothon. Hal ini 

dikarenakan Somdet Phra Mahawirawong, kepala vihara wilayah 

Timur Laut, meminta Ajaan MahaPin kembali ke kota Ubon. Akhirnya 

kami berenam melewati masa vassa di kotamadya tersebut.

Aku bersemangat dalam berlatih meditasi selama masa vassa, tetapi 

terkadang aku merasa sedikit khawatir karena semua guruku telah 

meninggalkan aku. Adakalanya aku berpikir tentang lepas jubah, 

tetapi bila aku merasakan hal ini, aku selalu mengarahkan pikiranku 

ke arah yang benar. 

Sebagai contoh, pada suatu hari sekitar pukul lima sore, aku sedang 

bermeditasi jalan, tetapi pikiranku menyimpang ke arah hal-hal 

duniawi. Seorang wanita berjalan melewati vihara, dengan bernyanyi, 

“aku sudah melihat hati burung tyd tyy bird: Mulutnya bernyanyi, tyd 

tyy, tyd tyy, tetapi pikirannya ke mana-mana mencari hal-hal yang 

tidak berguna”. Dan aku menghafalkan lagunya dan mengulanginya 

berulang kali, dengan mengatakan pada diri sendiri, “dia bernyanyi 

mengenai dirimu. Inilah dirimu, seorang bhikkhu, yang mencoba untuk 

mengembangkan kebajikan dalam dirimu dan engkau membiarkan 

pikiranmu mencari hal-hal duniawi.” Aku merasa malu sendiri. Aku 

memutuskan mengarahkan pikiranku pada kenyataan bahwa aku 

yaitu  seorang bhikkhu jika tidak ingin lagu tersebut mengacu pada 

diriku. Keseluruhan peristiwa mengarahku menuju Dhamma.

Sejumlah peristiwa lain membantuku waspada. Pada suatu malam 

ketika bulan bersinar terang, aku membuat persetujuan dengan 

~ 13 ~


bhikkhu lainnya bahwa kami tidak tidur dan hanya duduk serta 

bermeditasi jalan. Di masa vassa itu kami berenam, lima orang bhikkhu 

dan satu orang samanera. Aku bertekad harus lebih baik daripada 

mereka. Sebagai contoh, bila ada salah satu dari mereka mampu makan 

sepuluh suap makanan dalam satu hari, aku harus makan delapan 

suap. Bila ada dari mereka bisa duduk bermeditasi selama tiga jam, 

aku harus bisa selama lima jam. Bila ada dari mereka dapat melakukan 

meditasi berjalan selama satu jam, aku harus bermeditasi jalan selama 

dua jam. Aku melaksanakannya semua itu karena aku telah bertekad. 

Inilah rahasia yang terus kusimpan.

Pada kesempatan lain, di suatu malam, aku berkata kepada temanku, 

“Mari kita lihat siapa yang lebih baik dalam melakukan meditasi duduk 

dan berjalan.” Kami menyetujuinya, “Ketika aku bermeditasi jalan, 

Anda bermeditasi duduk; dan ketika aku bermeditasi duduk, Anda 

bermeditasi jalan. Marilah kita melihat siapa yang dapat bertahan 

lebih lama.” Ketika datang giliranku untuk bermeditasi jalan, temanku 

duduk di gubuk, di sebelah jalur di mana aku bermeditasi jalan. Tidak 

lama kemudian, aku mendengar suara gedebuk keras yang berasal dari 

dalam gubuk, aku berhenti untuk membuka jendela dan mengintip ke 

dalam. Sudah pasti, ia sedang berbaring dengan punggungnya dan 

kakinya dalam posisi bersila teratai penuh mengarah ke atas. Ia tertidur. 

Pada kenyataannya, aku juga tertidur, tetapi tetap melanjutkan karena 

keinginan yang sederhana untuk menang. Aku merasakan malu atas 

kemalangan temanku. “Aku tidak suka berada dalam posisi ia, tetapi 

pada saat yang bersamaan aku senang karena telah menang.

Semua peristiwa ini menjadi pelajaran bagi diriku: “Kejadian ini akan 

terjadi pada orang yang tidak serius pada apa yang ia kerjakan.”

~ 14 ~


Pada akhir masa vassa, kelompok ini berpisah, masing-masing dari kami 

pergi sendirian dan ada juga yang tinggal di tanah pekuburan. Selama 

masa ini, meditasiku telah berlangsung dengan baik sekali. Pikiranku 

bisa mencapai tingkatan murni, dan satu hal yang sangat aneh yang 

belum pernah terjadi: Ketika pikiranku sangat tenang dan jernih, 

pengetahuan tiba-tiba datang kepadaku. Sebagai contoh, meskipun aku 

belum pernah belajar bahasa Pali, sekarang aku bisa menerjemahkan 

arti dari parita yang aku telah hafalkan dari Buddhaguna, sebagai 

contoh Cula Paritta dan Abhidhamma Sankhepa. Sepertinya aku telah 

menjadi pakar dalam Dhamma. Jika ada sesuatu yang ingin aku 

ketahui, aku cukup menenangkan pikiranku, dan pengetahuan itu 

akan muncul tanpa aku harus memikirkan permasalahannya. sesudah  

peristiwa itu terjadi, aku menemui Ajaan Kongma. Beliau menjelaskan, 

“Sang Buddha tidak pernah belajar bagaimana caranya menulis buku 

atau memberikan khotbah-khotbah dari siapa pun. Pertama, Beliau 

bermeditasi dan pengetahuan timbul dari dalam pikirannya. Baru 

sesudah  itu, Beliau mengajarkan Dhamma yang sekarang telah tertulis 

dalam Tipitaka. Jalan yang Anda alami sudah benar.” Mendengar hal 

ini, aku merasa sangat gembira.

Pada akhir masa vassa, aku berpikir untuk kembali menjenguk ayahku, 

karena aku merasa masih banyak urusan yang harus diselesaikan 

di rumah. Dengan berjalan kaki, aku sampai di Baan Noan Daeng, di 

mana aku berdiam di kuil peninggalan leluhur. Ketika penduduk desa 

menemukan aku sendirian di dalam hutan sana, mereka memberitahu 

ayahku. Di pagi hari, ayah menemuiku sesudah  semalam sebelumnya 

membereskan rumah. Ia telah mempersiapkan makanan terbaik yang 

ia ketahui untukku. Tetapi aku tidak bisa memakannya. Aku menyesal 

aku tidak bisa, karena saat ini, aku menjalankan aturan vinaya 

dengan ketat, yang salah satu aturannya; tidak boleh makan daging 

~ 15 ~


dari hewan yang sengaja dibunuh untuk diberikan kepada seorang 

bhikkhu. sesudah  itu, aku berpikir, aku meminta maaf kepada ayahku 

sehingga air mata mengalir dari mataku. Ketika ia melihat putranya 

itu, yang sebagai bhikkhu itu tidak menyantap makanan yang ia telah 

persiapkan, ia mengambil kembali dan memakannya sendiri. 

sesudah  ia selesai makan, aku mengikutinya kembali ke kampung 

halamanku, dimana aku berdiam pertama kali di kuburan, dan kemudian 

di dalam hutan dimana ada  makhluk halus yang menakutkan. 

Aku menetap di sana selama beberapa minggu, berkhotbah Dhamma 

kepada orang-orang yang datang dari banyak desa, dan aku meluruskan 

keyakinan dan praktik salah yang mereka lakukan, kepercayaan akan 

ilmu sihir, pemujaan pada makhluk-makhluk halus dan kegunaan 

parita Sang Buddha sebagai sumber pengetahuan. Aku membantu 

menghilangkan ketakutan teman dan sanak keluargaku di desa 

terhadap makhluk-makhluk halus yang berdiam dekat puing kota tua 

dan makhluk halus di area dimana pernah aku berdiam sebelumnya. 

Kami menenangkan makhluk-makhluk tersebut dengan melafalkan 

parita Buddha, menanam jasa kebajikan dan menyebarkan cinta kasih 

ke seluruh wilayah itu. Siang harinya, kami membakar benda-benda 

upacara yang digunakan untuk penghormatan terhadap makhluk 

itu. Dan asap memenuhi langit sepanjang hari. Aku mengajarkan 

penduduk desa untuk berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, 

membacakan parita Buddha dan bermeditasi, daripada terlibat dalam 

pemujaan terhadap makhluk-makhluk halus.

Aku menemukan beberapa praktik lain, dimasa lampau yang aku 

anggap sebagai tidak bermanfaat. Dan kami memikirkan bagaimana 

caranya agar praktik tersebut disingkirkan: diantaranya, kepercayaan 

yang menyatakan kalau makhluk halus yang ada di desa harus makan 

~ 16 ~


daging hewan setiap tahunnya. Setahun sekali, ketika musimnya tiba, 

masing-masing rumah tangga harus mengorbankan seekor ayam, 

itik, atau babi. Jadi dalam satu tahun ratusan makhluk hidup harus 

mati demi makhluk halus itu, karena ada juga yang menggunakannya 

sebagai persembahan untuk penyembuhan penyakit. Semua perbuatan 

itu tidak bermanfaat. Jika makhluk itu ada, makanan-makanan tersebut 

bukanlah jenis makanan yang akan mereka makan. Jauh lebih baik 

untuk membuat jasa kebajikan dan melimpahkannya kepada makhluk 

halus tersebut. Jika mereka tidak menerimanya, lalu enyahkan mereka 

dengan kekuatan Dhamma.

Lalu aku meminta kepada orang-orang untuk membakar semua kuil-

kuil tersebut. Ketika sebagian dari penduduk desa itu mulai khawatir 

dan cemas bahwa tidak akan ada lagi yang melindungi mereka di masa 

datang, aku menuliskan parita untuk menyebarkan kebajikan, dan 

memberikan satu salinan kepada setiap orang di desa, menjamin bahwa 

tidak ada apa pun akan terjadi. Sejak itu, semua bidang di sekitar kuil 

itu kini telah ditanam dengan tanaman, dan tempat yang dikatakan 

berdiam makhluk halus menakutkan itu telah menjadi desa baru. 

Ketika aku tinggal selama beberapa waktu untuk mengajar penduduk 

desa, berita mulai menyebar. Beberapa orang menjadi cemburu dan 

mencoba untuk mengusirku. Pada suatu hari, tiga orang bhikkhu 

yang berada di daerah itu diundang untuk berdiskusi. Aku diundang 

sebagai bhikkhu yang ke empat. Ketiga bhikkhu itu yaitu : Phra Khru 

Vacisunthorn, kepala vihara dari daerah Muang Saam Sib; Pengajar 

Lui, kepala vihara dari daerah Amnaad Jaroen; Ajaan Waw, yang 

memiliki  pengetahuan tentang Bahasa Pali. Dan aku. Malam sebelum 

diskusi itu, aku merenung, “Akan ada yang kalah, bahkan keluar dari 

diskusi besok. Siapa pun yang memulai dulu, dan bagaimanapun 

~ 17 ~


mereka melakukannya, jangan biarkan dirimu terganggu sama sekali.” 

Banyak orang-orang datang untuk mendengar diskusi itu, tetapi pada 

akhirnya itu semua dilewati dengan damai tanpa terjadi apa pun. 

Masih ada sejumlah bhikkhu dan umat awam yang menganggap 

diriku pembual. Mereka berusaha menciptakan permasalahan dan 

kesalahpahaman antara para bhikkhu dan aku. Pada suatu hari, Nai 

Chai yang mengaku sebagai perwakilan dari para perumahtangga 

di kotamadya Yaang Yo Phaab, pergi ke kantor petugas wilayah dan 

menuduhku sebagai gelandangan. Hal ini mengeraskan keinginanku 

untuk tetap tinggal. “Aku belum pernah melakukan kejahatan atau 

bersalah apa pun sejak datang ke sini. Aku tak memedulikan pandangan 

mereka terhadapku, aku akan bertahan hingga akhir.” Kesimpulan 

dari semua yang terjadi, Petugas Wilayah Pendidikan tidak memiliki  

kekuasaan untuk mengusirku dari desa. Aku berkata kepada orang-

orang bahwa apabila ada permasalahan seperti ini lagi, aku tidak akan 

meninggalkan desa ini sampai namaku dibersihkan. 

Pada suatu hari, Petugas Wilayah sendiri, datang untuk memeriksa 

masalah pemerintahan dan ia bermalam di desa. Kepala desa, yang 

masih sanak keluargaku, berkata kepadanya tentang kejadian yang 

berlangsung saat sekarang. Petugas Wilayah itu berkata, “Jarang sekali 

ada bhikkhu yang mengajar orang-orang seperti ini. Biarkan ia tinggal 

selama yang ia inginkan.” Sejak saat itu tidak ada lagi peristiwa yang 

terjadi.

~ 18 ~

Kemudian, aku memohon diri ke sanak keluargaku dan pergi ke 

Yasothon. Di sana, aku bertemu Ajaan Singh dengan diiringi oleh 

delapan puluh bhikkhu dan samanera yang tinggal di dalam pemakaman 

Yasothon, tempat itu sekarang berdiri penjara. Tidak beberapa lama 

kemudian, sepucuk surat datang dari Phra Phisanasarakhun, kepala 

vihara Wat Srijan dari propinsi Khon Kaen, mengundang Ajaan Singh 

ke Khon Kaen. Kemudian, penduduk Yasothon, dengan dipimpin oleh 

Ajaan Rin, Ajaan Daeng, dan Ajaan Ontaa, menyewa dua bus, dan kami 

semua berangkat ke Khon Kaen. Ajaan Bot, bhikkhu meditasi pertama 

yang aku jumpai juga ikut pergi. Malam pertama kami tinggal di Roi Et; 

dan malam yang ke dua di bukit leluhur Maha Sarakham, suatu lokasi, 

di mana penduduk sana mengatakan ada makhluk halus menakutkan. 

Kerumunan orang-orang datang untuk mendengarkan khotbah Ajaan 

Singh. 

Aku mulai menyadari bahwa aku tidak akan menemukan kedamaian dan 

ketenangan dalam keadaan ini, maka, aku memohon diri kepada Ajaan 

Singh dan dengan diiringi oleh seorang samanera pergi mengunjungi 

sanak keluargaku – Khun MahaWichai, paman dari keluarga ibuku – 

di daerah Nam Phong. Ketika aku tiba di sana, aku bertemu dengan 

beberapa keluarga yang masih berhubungan denganku. Mereka semua 

gembira melihatku, dan menanyakan berita tentang keluarganya di 

Bagian 2

~ 19 ~


kampung halaman. Mereka menyiapkan tempat di dalam hutan, di 

tepi sungai Nam Phong, dan di sana, aku berdiam selama beberapa 

hari. Samanera yang ikut bersamaku pamit untuk mengunjungi sanak 

keluarganya di Sakon Nakhorn, maka, aku tinggal sendirian di dalam 

hutan, yang tidak ada seorang pun, kecuali monyet-monyet. 

sesudah  beberapa waktu, aku diserang sakit kepala dan telinga yang 

berat. Aku berkata kepada bibiku yang bernama Ngoen tentang 

penyakitku ini, dan dia mengirimku untuk menemui keponakan laki-

lakinya, seorang polisi di daerah Phon. Ia menyuruh sopirnya untuk 

mengantarku ke Nakhorn Ratchasima, di sana aku tinggal di Wat 

Sakae. Aku menghabiskan waktu selama tiga hari untuk mencari sanak 

keluargaku di sana, tetapi tidak dapat menemukan mereka. Alasanku 

ingin menemui mereka yaitu  karena aku berusaha menyembuhkan 

penyakitku dan ingin menemui Ajaan Mun. Akhirnya, seorang tukang 

becak mengantarku ke kantor pemerintah bagian perkeretaapian, di 

sana aku bertemu dengan sepupuku, Mae Wandee, istri dari Khun Kai. 

Semua orang bergembira melihatku, dan memohon kepadaku untuk 

melewati masa vassa di Nakhorn Ratchasima. Aku tidak menerima 

undangan mereka, karena seperti yang sudah aku beritahu, aku harus 

berangkat ke Bangkok. Kemudian sepupuku membelikan aku tiket 

kereta menuju stasiun HuaLamphong di Bangkok. 

Saat, kereta menyelusuri hutan Phaya Yen dan melaju cepat menuju 

hamparan ladang terbuka di Saraburi, aku teringat pada kakak laki-

lakiku yang memiliki keluarga di pintu air Nawng Taa Lo, aku pernah 

ke sana ketika aku masih sebagai umat awam. Maka, ketika kereta 

api berhenti di persimpangan Baan Phachi, aku turun dan berjalan 

menuju rumah saudaraku. Setibanya di sana, aku mendengar kalau 

ia dan keluarganya telah pindah ke propinsi Nakhorn Sawan. Orang-

orang yang aku kenal di sana hanya tinggal beberapa sahabat dan 

~ 20 ~


orang-orang tua. Aku berdiam di sana sampai akhir bulan Mei, ketika 

aku berkata kepada temanku bahwa aku akan pergi ke Bangkok, 

mereka membelikanku tiket dan menyertai aku sampai stasiun. Aku 

naik kereta menyelusuri jalan menuju Bangkok dan turun di stasiun 

HuaLampong. 

Aku belum pernah ke Bangkok. Aku tidak tahu jalan menuju Wat Sra 

Pathum, lalu aku memanggil tukang becak dan menanyakan, “Berapa 

biaya yang Anda bebankan padaku untuk mengantarku ke Wat Sra 

Pathum?” 

“Lima puluh satang.” 

“Lima puluh satang? Mengapa mahal? Bukankah Wat Sra Pathum 

berada sangat dekat!” 

Akhirnya, ia bersedia mengantarku dengan membayar lima belas 

satang. 

Sesampainya di Wat Sra Pathum, aku bernamaskhara kepada 

penahbisku, beliau berkata bahwa Chao Khun Upali telah mengundang 

Ajaan Mun untuk melewati masa vassa di Chieng Mai. Oleh karena itu, 

aku melewati masa vassa tahun itu di Wat Sra Pathum.

Kediamanku berada jauh dari tempat penahbisku. Aku bertekad 

melewatkan masa vassa dengan bermeditasi seperti yang biasa aku 

lakukan, dan pada waktu yang sama tidak mengabaikan setiap tugasku 

di vihara, kecuali bila tidak dapat dihindari, setiap samanera harus 

dibimbing oleh penahbisnya masing-masing. 

Aku sangat tegas dan bersemangat di dalam melaksanakan meditasi 

tahun itu. Aku mempertahankan pikiran kokohku. Aku ambil bagian 

dalam pelayanan pembacaan parita pagi dan malam, dan menghadap 

~ 21 ~


penahbisku setiap pagi dan malam. Aku memerhatikan cara hidup 

beliau yang membuka kesempatan kepadaku untuk melayaninya – tidak 

ada yang melayani beliau, merapikan tempat tidurnya, membersihkan 

tempolong, merapikan daun sirihnya, merapikan tikarnya, dan 

dudukan kainnya. Inilah kesempatanku.

Sejak saat itu, aku melaksanakan tugasku melayani beliau sebaik-

baiknya. sesudah  beberapa saat, aku merasa pelayananku memuaskan, 

dan menjadi kesayangan beliau. Pada akhir masa vassa, beliau 

memintaku menerima tanggung jawab untuk menetap dan menjaga 

gudang vihara, Aula Hijau, di mana beliau mengambil makanannya. 

Meskipun dalam pikiranku telah menganggap beliau bagaikan seorang 

ayah, aku tidak pernah bermimpi bahwa sikap loyal dan baik bisa 

menjadi begitu berbahaya seperti ini.

Maka, pada awal musim panas, aku mohon diri kepada penahbisku 

untuk pergi dan berdiam di tempat yang terpencil di dalam hutan. 

Aku meninggalkan Bangkok, melintasi Ayutthaya, Saraburi, Lopburi, 

Takhli, Phukhao, Phukhaa, melewati Nakhorn Sawan, daerah Thaa 

Tako dan di sekitar danau Boraphet, aku tiba di tempat saudaraku. Di 

sana, aku tidak hanya bertemu saudaraku, tetapi juga beberapa sahabat 

lama ketika aku masih seorang umat awam. 

Pada saat aku berdiam di Nakhorn Sawan, aku tinggal di dalam hutan 

yang berjarak sekitar satu setengah kilometer dari desa. Suatu hari, 

aku mendengar suara perkelahian dua ekor gajah, satu gajah liar 

dan satu gajah yang sudah dijinakkan. Mereka berkelahi hingga tiga 

hari sampai gajah yang liar itu mati. sesudah  perkelahian itu, gajah 

yang sudah dijinakkan itu menjadi liar dan memasuki hutan di mana 

aku berdiam, mengejar orang-orang dan menanduk mereka dengan 

gadingnya. Pemilik gajah itu – Khun Jop – dan penduduk lainnya 

~ 22 ~


mengajakku berlindung di desa, tetapi aku memutuskan tidak pergi. 

Meskipun aku merasa ketakutan, aku memutuskan untuk bertahan 

pada kekuatan dan keyakinan akan kasih sayang. 

Kemudian pada suatu hari, sekitar pukul empat sore, gajah itu lari 

menuju ke dalam hutan di mana aku berdiam dan berhenti sekitar 

empat puluh meter dari gubukku. Saat itu, aku sedang duduk 

bermeditasi di dalam gubuk. Mendengar suaranya, aku melongokkan 

kepala keluar dan melihatnya dalam posisi yang menakutkan dengan 

telinga-telinganya yang tegak dan kilauan gading putihnya. Terlintas 

pemikiran dalam diriku, “jika gajah itu lari ke gubuk ini, dalam waktu 

tiga menit ia sudah tiba.” Karena itu, aku ketakutan. Aku lari keluar 

dari gubuk menuju pohon besar yang berjarak sekitar enam meter 

jauhnya. Setibanya disana, mulai menaiki batang pohon, Lalu ada 

bisikan  berkata, “kamu tidak benar. kamu takut mati. Siapa pun yang 

takut mati akan mati sekali lagi.” Mendengarnya, aku meninggalkan 

pohon dan kembali bergegas ke dalam gubuk. Aku duduk bersila 

dengan posisi separuh bunga teratai dan dengan mata terbuka, aku 

duduk menghadapi gajah dan bermeditasi, memancarkan cinta kasih.

Saat peristiwa itu terjadi, aku mendengar teriakan penduduk desa dan 

menangis satu dengan yang lainnya, “Bhikkhu itu (maksudnya aku) 

dalam bahaya. Tidakkah ada seorang pun yang dapat menolongnya?” 

Tetapi itulah yang dapat mereka lakukan, menangis dan berteriak. 

Tidak ada – bahkan seorang pun – yang berani datang mendekatiku.

Aku duduk sekitar sepuluh menit, memancarkan cinta kasih. Akhirnya 

gajah itu mengepakkan kedua telinganya naik turun beberapa kali, 

berbalik dan berjalan kembali ke dalam hutan. Beberapa saat kemudian 

aku bangkit dari dudukku dan keluar dari dalam hutan, menuju ke 

tempat terbuka. Khun Jop dan yang lainnya datang mengelilingiku, 

kagum melihatku tanpa ada masalah.

~ 23 ~


Esoknya, orang-orang sekitar datang menemuiku dan meminta 

“barang-bagus”: jimat. Desas-desusnya, karena gajah itu ketakutan 

mendekatiku, aku dipastikan memiliki beberapa jimat-jimat kuat yang 

hebat. Melihat semua kekisruhan ini, aku memutuskan untuk segera 

pergi, maka beberapa hari kemudian, aku mengucapkan selamat 

tinggal kepada keluargaku dan kembali ke Bangkok. 

Aku sampai di Wat Sra Pathum pada bulan Mei. Masa tersebut, aku 

menjalankan masa vassa yang ke dua di sana, penahbisku meminta 

aku untuk mengambil alih pembukuan vihara dari Phra Baitika 

Bunrawd. Pada saat yang sama, rekan-rekanku mengajakku untuk 

mempelajari ujian Tingkatan Dhamma yang Ke Tiga. Hal ini berarti 

bebanku bertambah. Tidak hanya itu saja, penahbisku memintaku 

untuk mengawasi dan memelihara perlengkapan vihara. Yang 

terutama yaitu  aku harus belajar buku teks Dhamma dan terus 

melaksanakan meditasiku. Dengan semua tanggung jawab tambahan 

ini, kondisi pikiranku mulai mengendor sedikit. Hal ini dapat diukur 

dengan kenyataan yang ada bahwa pada tahun pertama, ketika para 

bhikkhu muda datang menemuiku, membicarakan hal-hal duniawi – 

seperti wanita dan kekayaan – aku tidak suka, tetapi pada tahun yang 

ke dua, aku mulai menyukainya. Tahun ke tiga di Wat Sra Pathum, aku 

mulai belajar bahasa Pali, sesudah  lulus ujian Tingkatan Dhamma Yang 

Ke Tiga pada tahun 1929. Tanggung jawabku menjadi lebih berat dan 

aku semakin sering membicarakan hal-hal duniawi. Tetapi saat jalan 

hidupku mencapai titik ini, terjadilah sejumlah peristiwa-peristiwa 

baik di luar maupun di dalam vihara, yang membantu menyadarkan 

aku.

Pada suatu hari di penghujung masa vassa yang ke dua, aku 

menemukan dalam buku catatan keuangan vihara, uang sekitar 

sembilan ratus hilang. Berhari-hari aku memeriksa buku, tetapi tidak 

~ 24 ~


bisa menemukannya. Biasanya aku melapor kepada penahbisku di 

awal bulan, tetapi pada awal bulan pertama ini, aku tidak menemui 

beliau. Aku menanyakan setiap orang yang bekerja denganku, tetapi 

mereka semua tidak tahu menahu tentang uang yang hilang. Akhirnya 

kemungkinan lain terjadi: Nai Bun, seorang siswa yang melayani 

penahbisku. Suatu pagi, ia meminta kunci Aula Ruang Hijau untuk 

disimpan saat aku pergi berpindapatta. Maka aku meminta Phra Baitika 

Bunrawd untuk menanyakan Nai Bun, yang pada akhirnya mengakui 

telah mencuri uang tersebut selagi aku ke luar. 

Seluruh masalah ini yaitu  kesalahan penahbisku. Suatu pagi, beliau 

menerima undangan untuk pelimpahan jasa kebajikan pada upacara 

pembakaran jenazah di rumah salah seorang bangsawan, tetapi kipas 

upacara dan kantong bahunya disimpan di dalam kamarku, karena 

pada saat itu aku sedang berpindapatta, maka aku membawa kunci 

kamar, dengan demikian beliau tidak bisa masuk. Maka sejak saat itu, 

beliau meminta kepadaku untuk menitipkan kuncinya pada Nai Bun 

setiap pagi sebelum pergi berpindapatta, dan ini penyebab uang itu 

hilang. Aku beruntung bahwa Nai Bun telah mengakui kesalahannya. 

Aku kembali memeriksa pembukuan vihara dengan hati-hati dan 

menemukan uang yang hilang lebih dari tujuh ratus Baht dari dana 

vihara, dan sisanya uang keperluan pribadi penahbisku. 

Maka pada tanggal 5 Oktober, sesudah  semuanya telah selesai, aku 

memberitahu kepada sahabat karibku, Phra Baitika Bunrawd dan Phra 

Chyam, “aku akan melaporkan kepada kepala vihara pada pukul lima 

sore ini.” 

“Jangan,” seru Phra Chyam. “aku akan mengganti uang yang hilang 

itu.” 

Aku menghargai tawarannya, tetapi merasa itu bukan gagasan yang 

~ 25 ~


baik. Akan lebih baik menceritakan keseluruhan permasalahan yang 

terjadi agar semuanya menjadi jelas. Jika tidak, anak laki-laki itu akan 

terus melakukan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik. 

Penahbisku sebelumnya telah beberapa kali berselisih dengan teman-

temanku soal pembukuan vihara, maka ketika tiba waktuku untuk 

menyampaikan laporanku, mereka bersembunyi di dalam tempat 

tinggal mereka, menutup dengan rapat pintu mereka, meninggalkanku 

sendirian menghadap penahbisku. Sebelum melaporkan, aku pergi ke 

Aula Ruang Hijau, menyapu dan menyikat lantai, menyiapkan daun 

sirih, membentangkan alas duduk untuk penahbisku, dan lalu duduk 

menunggu beliau. sesudah  jam empat lewat, beliau meninggalkan 

ruangan besar barunya yang dibangun untuk beliau oleh Puteri Talap, 

istri dari Chao Phraya Yomaraj, dan datang langsung duduk di Aula 

Ruang Hijau. Ketika beliau selesai minum teh dan daun sirihnya, 

aku mendekati beliau untuk menyampaikan laporan tentang dana 

yang hilang. Sebelum aku menyelesaikan kalimat pertamaku, beliau 

menyela, “Mengapa kamu menunggu hingga hari ke lima di awal bulan 

ini untuk membuat laporanmu? Biasanya kamu melaporkan pada hari 

pertama.”

Aku menjawab “Alasanku untuk tidak melaporkannya di hari pertama 

karena aku merasa ragu terhadap catatan keuangan dan orang-orang 

yang terlibat. Namun sekarang aku memastikan bahwa uang itu benar-

benar hilang dan aku sudah menemukan pihak yang bersalah.” 

“Siapa dia?” Beliau bertanya. 

“Nai Bun, ia telah mengakui kesalahannya,” aku menjawab.  

“Bawa ia ke sini,” beliau memerintahkan dan menambahkan, “hal ini 

sangat memalukan. Jangan sampai peristiwa ini diketahui oleh pihak 

luar.” 

~ 26 ~


Lalu Phra Baitika Bunrawd membawa Nai Bun, yang mengakui 

kesalahannya pada penahbisku. Keputusan akhir menyatakan Nai Bun 

harus mengganti uang yang hilang. 

sesudah  semua diselesaikan, aku mengajukan pengunduran diri 

sehingga aku bisa pergi bermeditasi di dalam hutan. Sebelum urusan 

ini selesai, pernah suatu malam, aku tidak bisa tidur nyenyak. Aku 

berpikir, aku harus lepas jubah untuk mendapatkan pekerjaan agar 

dapat mengganti uang yang hilang. Pada saat yang sama, aku tidak 

ingin lepas jubah. Dua pemikiran ini berkecamuk di pikiranku sampai 

dini hari. Tetapi ketika aku menyampaikan pengunduran diri kepada 

penahbisku, beliau tidak membiarkanku pergi. 

Beliau berkata, “aku sudah tua, tidak ada seorang pun yang dapat 

kupercayai untuk mengurusku. Kamu tinggallah di sini untuk 

sementara waktu.” 

Maka aku menetap selama beberapa tahun.

~ 27 ~

Pada masa vassa yang ke tiga, penahbisku memintaku untuk tinggal di 

tempat tinggalnya yang baru untuk membantu merapikan tempat itu 

dan membantu kegemarannya yaitu memperbaiki jam. Tugas-tugasku 

sebelumnya telah diserahkan kepada Phra Chyam, yang menjadi beban 

dalam pikiranku. Tetapi melihat kondisi latihan meditasi yang aku 

jalankan, aku merasa mundur. Aku menjadi semakin tertarik akan hal-

hal duniawi. Maka aku memutuskan untuk berontak di dalam pikiran. 

Suatu hari, timbul pikiran, “Jika aku menetap di sini di dalam kota ini, 

aku harus lepas jubah. Jika aku tetap ingin menjadi seorang bhikkhu, 

aku harus meninggalkan kota ini dan masuk ke dalam hutan.” Dua 

pemikiran ini menjadi tema dari meditasiku sepanjang hari. 

Suatu hari, aku naik ke pelataran cetiya dan duduk bermeditasi. 

Tema dari meditasiku yaitu , “haruskah aku tinggal di sini atau lepas 

jubah?” Terlintas dalam pikiranku, “aku lebih suka lepas jubah.” Maka 

aku bertanya pada diriku sendiri, “Tempat di mana kamu tinggal 

sekarang, sangat makmur, dengan rumah-rumah dan jalan-jalan yang 

indah, dengan keramaian orang. Mereka menyebutnya apa?” Dan aku 

menjawab, “Phra Nakhorn, kota besar, surga dunia.” 

“Dan di mana kamu dilahirkan?” 

“Aku dilahirkan di Desa Muang Saam Sib, Ubon Ratchathani. Dan 

sekarang aku berada di kota besar ini untuk lepas jubah.”

Bagian 3

~ 28 ~


“Dan di Desa Muang Saam Sib, apa yang kamu makan? Bagaimana 

kehidupanmu? Bagaimana kehidupan orang-orang di sana? Dan apa 

yang kamu kenakan? Dan seperti apakah jalanan dan rumah-rumah 

di sana?” 

Sama sekali berbeda dengan kota besar. 

“Jadi di kota besar yang makmur ini. Apa yang kamu lakukan?” 

Inilah jawabanku, “penduduk di kota besar ini bukanlah para dewa, 

dewi atau apa pun. Mereka yaitu  penduduk, sama sepertiku, jadi 

kenapa aku tidak bertingkah laku seperti mereka?” 

Aku bertanya terus menerus seperti ini selama beberapa hari sampai 

akhirnya aku memutuskan untuk berhenti. Jika aku lepas jubah, aku 

harus membuat persiapan-persiapan. Orang lain, sebelum mereka 

lepas jubah, terlebih dahulu menyiapkan pakaian dan lainnya, 

tetapi aku akan melakukan itu dengan cara yang berbeda. Aku akan 

meninggalkan dunia kebhikkhuan di dalam pikiranku terlebih dahulu 

untuk melihat apa yang akan terjadi. 

Pada malam yang sunyi diterangi oleh cahaya bulan, aku duduk di 

pelataran stupa dan bertanya pada diriku sendiri, “Jika aku lepas jubah, 

apa yang akan aku lakukan?” Aku mulai dengan kisah berikut.

Jika aku lepas jubah, maka aku akan melamar pekerjaan sebagai 

karyawan di perusahaan obat-obatan Phen Phaag. Aku memiliki  

seorang sahabat yang telah lepas jubah dan bekerja di sana dengan 

pendapatan dua puluh Baht setiap bulan, jadi aku ingin melamar 

pekerjaan di sana juga. Aku akan bekerja giat dan jujur sehingga 

atasanku puas dengan pekerjaanku. Aku memastikan dimanapun 

aku tinggal, aku harus bertindak demikian supaya orang yang berada 

disekitarku dapat menghargaiku dengan baik. 

~ 29 ~


Kemudian, perusahaan obat-obatan itu akhirnya mempekerjakan 

aku dengan gaji dua puluh Baht setiap bulan, gaji yang sama dengan 

temanku. Aku menyusun keuanganku agar tersisa di akhir bulan, 

kemudian aku menyewa kamar di rumah susun yang dimiliki oleh 

Phraya Phakdi, di PratuuNam, salah satu bagian dari kota. Uang 

sewanya empat Baht per bulan. Ditambah air, listrik, pakaian, dan 

makanan sekitar sebelas Baht,  kira-kira masih ada sisa sekitar lima 

Baht pada akhir bulan. 

Di tahun ke dua, atasanku menyukai dan memercayai aku, sehingga 

ia menaikkan gajiku menjadi tiga puluh Baht setiap bulan. sesudah  

dipotong pengeluaranku, maka uangku tersisa lima belas Baht setiap 

bulan. Akhirnya, ia sangat puas dengan semua pekerjaanku, kemudian 

ia mengangkatku sebagai pengawas dari semua pekerja, dengan gaji 

empat puluh Baht, dan ditambah komisi dari keuntungan perusahaan, 

total gajiku bisa mencapai lima puluh Baht setiap bulan. Dengan posisi 

ini, aku bangga pada diriku, karena penghasilanku sama besarnya 

dengan petugas pemerintah di kampung. Dan bagi sahabat-sahabatku 

di kampung, posisiku berada di atas posisi mereka. Kemudian aku 

memutuskan sudah waktunya untuk menikah agar aku dapat pulang 

kampung dengan seorang wanita Bangkok yang masih muda dan 

cantik yang akan membanggakan keluargaku. Inilah rencana yang 

sedikit meningkatkan derajat hidupku. 

Jadi bila aku akan menikah, gadis seperti apa yang akan menjadi 

pasanganku? Aku berpikir dia harus memiliki tiga ciri dari seorang 

istri yang baik: 

1) Dia harus berasal dari keluarga yang baik. 

2) Dia harus memiliki warisan. 

3) Dia harus cantik dan memiliki sikap yang menyenangkan. 

~ 30 ~


Hanya wanita yang memiliki tiga ciri tersebut, yang akan aku nikahi. 

Lalu aku bertanya pada diriku sendiri, “Di mana kamu akan mencari 

wanita seperti itu dan bagaimana kamu dapat berkenalan dengannya?” 

Di sinilah mulai timbul kesukaran. Aku coba memikirkan berbagai 

macam rencana, tetapi sekalipun aku bertemu dengan wanita seperti 

itu, dia mungkin tidak tertarik padaku. Wanita yang tertarik kepadaku 

bukanlah gadis idamanku. Memikirkan hal ini, terkadang aku menghela 

nafas , tetapi aku pantang menyerah. 

Akhirnya muncul pikiran dalam pikiranku, “Orang-orang kaya akan 

menyekolahkan putri-putrinya di sekolah-sekolah papan atas, seperti 

Sekolah Back Palace atau Sekolah Mrs. Cole. Bagaimana kalau aku 

mencarinya di sana, di pagi hari sebelum kelas dimulai, dan di sore 

hari saat kelas usai?” 

Jadi itulah yang aku lakukan, sampai suatu saat aku menemukan seorang 

gadis yang menarik, putri dari Phraya. Cara dia berjalan dan berpakaian 

benar-benar menarik hatiku. Aku mengatur agar perjalanan kita selalu 

bersamaan setiap hari. Aku membawa satu catatan kecil, yang akan 

aku jatuhkan di depannya. Pertama kali, dia tidak memerhatikan. Hari 

demi hari perjalanan kami selalu bersamaan. Terkadang mata kita 

saling bertemu, terkadang dia tersenyum kepadaku. Ketika hal ini 

terjadi, aku memberikan suratku kepadanya.

Akhirnya kami berkenalan. Aku janjian dengannya dan dia harus 

bolos sekolah besok agar aku dapat mengajaknya keliling kota. Waktu 

berlalu, kami saling mengenali satu sama lain, saling menyukai, saling 

mencintai. Kami saling menceritakan kehidupan kami – hal-hal yang 

membuat kami bahagia dan hal-hal yang membuat kami sedih – dari 

awal hingga sampai saat ini. Aku memiliki  pekerjaan yang bergaji 

tidak kurang dari lima puluh Baht satu bulan. Dia menyelesaikan 

~ 31 ~


sekolah tingkat ke dua selama enam tahun dan merupakan putri dari 

keluarga kaya – Phraya – Sikap dan perilakunya sesuai dengan yang 

aku harapkan.

Akhirnya, kami setuju menikah diam-diam. Karena kami saling 

mencintai satu sama lain, kami telah melakukan hubungan luar nikah 

terlebih dahulu. Dia yaitu  orang yang baik, maka sebelum kami secara 

resmi menikah, dia memberitahukan orang tuanya. Mereka sangat 

marah dan mengusirnya dari rumah.

Kemudian, kami hidup bersama sebagai suami-istri. Aku tidak 

tersinggung dengan apa yang orangtuanya lakukan, karena aku akan 

menunjukkan kasih sayangku kepada mereka. 

Kami menyewa apartemen di wilayah yang lebih baik, di daerah 

Sra Pathum. Uang sewanya enam Baht untuk satu bulan. Istriku 

mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang sama denganku, dengan 

gaji dua puluh Baht setiap bulan, tetapi dengan cepat dia naik gaji 

menjadi tiga puluh Baht setiap bulan. Kami menghasilkan delapan 

puluh Baht setiap bulan, keadaan ini menggembirakan aku.

Waktu terus berlalu, kedudukanku meningkat. Atasanku memercayaiku 

sepenuhnya, dan terkadang dia memintaku mengambil alih tugas-

tugasnya pada saat ia tidak ditempat. Kami berdua bekerja dengan 

benar dan jujur untuk perusahaan, hingga akhirnya penghasilan kami 

mencapai seratus Baht setiap bulan. Keadaan ini membuatku bisa 

bernafas lega, tetapi impianku masih belum tercapai. 

Kemudian, aku mulai membeli hadiah – makanan dan barang-

barang bagus lainnya – untuk diberikan kepada mertuaku untuk 

menunjukkan niat baikku terhadap mereka. Tidak lama kemudian, 

mereka mulai memerhatikan diriku dan bahkan meminta kami pindah 

~ 32 ~


ke rumah mereka. Aku sangat senang: aku yakin akan mendapat 

bagian dalam warisan. Tidak lama sesudah  tinggal, terungkap niatku 

yang menggusarkan mertuaku, akhirnya mereka mengusir kami dari 

rumah. Kami pun kembali tinggal di apartemen seperti sebelumnya. 

Akhirnya istriku hamil. Agar dia tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan 

berat, maka aku mempekerjakan seorang pembantu untuk merawat 

rumah dan membantu pekerjaan rumah tangga. Pada saat itu, 

mempekerjakan seorang pembantu sangatlah murah – hanya empat 

Baht per bulan. 

Mendekati masa kelahiran, istriku mulai semakin sering tidak masuk 

kerja. Aku harus mempertahankan pekerjaanku. Pada suatu malam, aku 

duduk untuk melihat keuangan kami. Penghasilan seratus Baht yaitu  

penghasilan terbanyak yang pernah kami dapatkan. Aku tidak pernah 

berharap nantinya akan ada kenaikan. Pengeluaran-pengeluaran kami 

semakin banyak setiap harinya: satu Baht per bulan untuk listrik; 

satu setengah Baht untuk air; arang kayu dan beras masing-masing 

sedikitnya enam Baht per bulan; gaji pembantu empat Baht per bulan; 

dan pengeluaran yang paling besar dari semuanya itu yaitu  biaya 

belanja pakaian kami. 

sesudah  istriku melahirkan, pengeluaran-pengeluaran kami semakin 

banyak. Dia tidak kuat lagi untuk bekerja, jadi kami pun kehilangan 

sebagian pendapatannya. Tidak lama kemudian, dia pun jatuh sakit dan 

absen dari pekerjaannya dalam waktu yang lama. Atasanku memotong 

gajinya kembali menjadi lima belas Baht per bulan. Tagihan medis kami 

terus meningkat. Gaji istriku tidak cukup untuk membiayai kebutuhan-

kebutuhannya, maka dia pun harus menggunakan gajiku. Gajiku yang 

semulanya lima puluh Baht, sekarang habis setiap bulannya.

Pada akhirnya, penyakit istriku bertambah parah. Aku harus meminjam 

~ 33 ~


lima puluh Baht dari atasanku, ditambah lima puluh dari tabunganku, 

digunakan untuk biaya pemakaman istriku, yang totalnya sebesar 

delapan puluh Baht. Sisanya dua puluh Baht dan seorang anak kecil 

yang harus dibesarkan.

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Sebelum aku dapat bernafas 

lega. Sekarang kehidupanku terasa berat. Aku pergi ke rumah 

mertuaku, tetapi mereka lepas tangan. Maka aku mempekerjakan 

seorang perawat anak. Perawat itu berasal dari wanita kelas rendah, 

tetapi dia merawat anakku dengan baik. Hal ini membuatku jatuh cinta 

dan menyayanginya, dan akhirnya dia menjadi istri ke duaku.

Istri baruku tidak berpendidikan – dia bahkan tidak bisa membaca 

atau menulis. Pendapatanku saat ini hanya lima puluh Baht – hanya 

secukupnya saja. Kemudian istri baruku hamil. Aku melakukan yang 

terbaik untuk memastikan dia tidak perlu melakukan pekerjaan berat, 

dan aku melakukan segala hal yang aku bisa demi kebaikannya, tetapi 

aku kecewa, karena semua yang terjadi tidak sesuai dengan rencana-

rencanaku sebelumnya. 

sesudah  istri baruku melahirkan, kami bersama-sama membesarkan 

anak-anak sampai mereka berdua – anak dari istri pertama dan anak 

dari istri ke dua –  cukup umur untuk merawat diri mereka sendiri. 

Inilah yang terjadi, istri baruku mulai bertindak lucu – pilih kasih, 

mencurahkan seluruh kasih sayangnya hanya kepada anaknya 

sendiri, dan tidak kepada anak pertamaku. Anak pertamaku mulai 

mengeluh bahwa istri baruku bertindak tidak adil dalam hal ini dan 

itu. Kadang-kadang kedua anak-anakku berkelahi. Ketika aku pulang 

dari bekerja, anak pertamaku menghampiriku dan bercerita dengan 

versinya tentang apa yang telah terjadi, anak ke duaku dengan versi 

lain, dan juga istriku memiliki  versi yang lain lagi. Aku tidak tahu 

~ 34 ~


harus berpihak pada siapa. Seolah-olah aku berdiri di pertengahan, 

istri dan anak-anakku sedang berusaha menarik aku ke tiga arah 

yang berbeda. Anak baruku ingin aku membeli ini atau itu – bahkan 

istri dan anak-anakku mulai bersaing untuk mendapatkan makanan 

terbaik, pakaian terbaik dan menghabiskan uang. Sehingga aku tidak 

bisa duduk dan berbicara dengan mereka sama sekali. Gajiku habis tiap 

bulan. Kehidupan keluargaku seperti barisan semak berduri.

Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti. Istriku bukan apa yang 

aku harapkan, pendapatanku bukan apa yang aku harapkan, anak-

anakku bukan apa yang aku harapkan, maka aku meninggalkan istriku, 

ditahbiskan kembali dan kembali hidup sebagai bhikkhu. 

Di akhir cerita tersebut, ketertarikanku pada keduniawian lenyap. 

Perasaan mengenai kehidupan yang terasa berat telah hilang. Aku 

merasa bebas seperti terbang ke udara. Sesuatu di dalam ku menghela, 

“Ah!” dengan bebasnya. Aku katakan pada diriku sendiri jika ini yang 

akan terjadi, lebih baik aku tidak lepas jubah. Hasrat untuk lepas jubah 

berkurang menjadi lima puluh sampai enam puluh persen.

Pada masa-masa tersebut, beberapa kejadian muncul yang membantu 

pemikiranku ke arah yang benar. Suatu malam aku bermimpi guru-

guru meditasiku dulu datang menemuiku: terkadang mereka sangat 

galak kepadaku, terkadang mereka marah-marah kepadaku. Tetapi 

ada empat peristiwa penting – Anda dapat menyebutnya aneh, 

dan peristiwa-peristiwa tersebut sangat penting dalam mengubah 

pemikiranku. Aku minta maaf kepada pembaca karena harus 

menceritakannya  dikarenakan tidak ada satu pun dari peristiwa itu 

menyenangkan. Tetapi karena peristiwa-peristiwa itu memberikan 

pelajaran-pelajaran yang baik, aku rasa, kita perlu mencatatnya.

Peristiwa pertama: pada masa itu, saat aku menghabiskan malamku 

~ 35 ~


dengan berpikir tentang hal-hal duniawi, suatu hari aku terserang 

sembelit, aku makan obat pencuci perut, berharap agar obatnya dapat 

mengembalikan kesehatanku, tetapi tidak sama sekali. Keesokan 

paginya, aku pergi berpindapatta menelusuri jalan setapak menuju 

Istana Sra Pathum. Saat aku hampir tiba di salah satu rumah yang 

telah menyiapkan makanan untuk didanakan kepada bhikkhu, tiba-

tiba aku kebelet ke kamar mandi. Bahkan aku tidak dapat berjalan 

untuk menerima makanan. Yang dapat aku lakukan hanya bertahan 

dan berjalan tertatih-tatih menuju hutan akasia kecil di sisi jalan. Aku 

meletakkan mangkuk pattaku dan terbirit-birit lari masuk ke dalam 

hutan kecil. Aku ingin membenamkan kepalaku ke dalam tanah dan 

mati di sana. sesudah  selesai, aku meninggalkan hutan kecil, mengambil 

mangkuk pattaku dan menyelesaikan pindapattaku. Hari itu aku 

kurang makan. Sekembalinya ke vihara, aku mengingatkan diriku, 

“inilah yang akan terjadi jika kamu lepas jubah. Tidak ada orang yang 

akan memasukkan makanan ke dalam mangkuk pattamu.” Seluruh 

peristiwa itu memberikan suatu pelajaran yang baik.

Peristiwa ke dua: Pada suatu pagi aku pergi berpindapatta. Aku 

menyeberang Jembatan Kepala Gajah, melewati Saam Yaek dan 

menelusuri Jalan Phetburi. Tidak ada seorang pun yang memberikan 

makanan bahkan sesendok nasi ke dalam mangkuk pattaku. Kemudian 

aku barisan rumah sederhana, aku melihat pria dan wanita tua beretnik 

China, saling menjerit dan berteriak di depan rumah sederhana mereka. 

Wanita itu berusia sekitar lima puluh tahun dan berkonde. Yang 

pria berkuncir. Sesampainya di sana, aku berhenti dan mengamati. 

Dalam sekejap, wanita tua itu mengambil sapu dan memukul kepala 

pria tua itu dengan batang sapu. Pria tua itu menjambak rambutnya 

dan menendang punggungnya. Aku merenung, “Jika itu yaitu , apa 

yang akan lakukan?” Lalu aku tersenyum, “kemungkinan kamu akan 

~ 36 ~


mengakhiri pernikahan.” Aku sangat gembira melihat peristiwa ini 

dari pada aku menerima semangkuk penuh makanan. Malamnya aku 

bermeditasi pada apa yang kulihat. Pikiranku mulai menguat kembali, 

dan perlahan-lahan mulai merasa tidak tertarik dengan hal-hal 

duniawi. 

Peristiwa ke tiga: Terjadi pada saat liburan. Saat fajar mulai menyingsing, 

aku berpindapatta ke pasar Watergate Sra Pathum, lalu menelusuri 

jalan setapak di belakang vihara. Jalan setapak itu kotor karena berada 

dekat kandang kuda. Hujan turun dan membuat jalan itu menjadi licin. 

Sambil berjalan, aku melewati rumah orang yang sering berkunjung 

ke vihara. Mangkuk pattaku penuh dengan makanan dan pikiranku 

terus melekat dengan hal-hal duniawi – karena tidak sadar, aku jatuh 

terpeleset ke dalam lubang lumpur di sisi jalan. Kedua lututku terbenam 

dan makananku tumpah kemana-mana, lumpur menempel di sekujur 

tubuhku. Aku segera kembali ke vihara, dan aku merenung: “Lihat apa 

yang terjadi ketika kamu hanya berpikir tentang hal semacam itu?” 

Pikiranku lambat laun menjadi semakin tidak tertarik pada hal-hal 

duniawi. Pendapatku dulu berbalik menjadi; aku sekarang melihat 

pernikahan hanya untuk anak-anak, bukan untuk orang dewasa.

Peristiwa ke empat: Besok paginya, aku pergi berpindapatta. Menelusuri 

jalan biasa menuju Jalan Phetburi. Aku datang ke istana Yang Mulia 

Pangeran Dhaninivat. Pangeran ini biasa berdana makanan kepada 

para bhikkhu setiap pagi. Kemudian ada seseorang telah menyiapkan 

semangkuk nasi di seberang jalan, lalu aku memutuskan untuk 

menerima dana nasi dari orang tersebut terlebih dahulu. sesudah  

menerima nasi, aku berbalik dan menyeberang jalan. Kemudian satu 

bus Nai Lert berwarna putih datang mengerem mendadak dengan jarak 

kurang dari satu kaki dariku. Penumpang di bus tersebut berteriak dan 

menjerit, dan aku sendiri terdiam: aku baru saja hampir mati tertabrak 

bus. 

~ 37 ~


Ketika akhirnya aku pergi untuk menerima dana makanan dari 

pangeran, aku harus berusaha keras untuk mengendalikan diri karena 

seluruh tubuhku gemetar. Kemudian aku kembali ke vihara.

Semua peristiwa-peristiwa itu, kuanggap sebagai peringatan, karena 

pada masa itu, pikiranku mengenai keduniawian muncul setiap saat. 

Sekarang kita berada di penghujung masa vassa pada tahun 1930. Selama 

masa vassa ke tiga ini aku merenung, “kamu harus meninggalkan 

Bangkok. Tidak ada yang lain. Jika penahbismu menghalangimu, 

mereka harus disingkirkan.” Maka aku bertekad: “Semoga Tiratana 

dan semua makhluk suci yang berada di alam semesta menolong aku 

menemukan jalan keluarnya.” 

Di malam lain, pada penghujung masa vassa, aku berbaring, membaca 

buku dan bermeditasi pada waktu yang sama, kemudian aku tertidur. 

Aku bermimpi, Ajaan Mun datang mendampratku. “Apa yang kamu 

lakukan di Bangkok?” “Pergi sana! masuk ke dalam hutan!”  

“Aku tidak bisa, penahbisku tidak akan mengijinkanku pergi,” aku 

menjawab. 

Ajaan Mun menjawab dengan satu kata, “Pergi!” 

Maka aku bertekad kepada beliau, “Semoga di akhir masa vassa ini, 

Ajaan Mun berkenan datang dan membawaku bersamanya ke luar dari 

keadaan sulit ini.” 

Hanya beberapa hari kemudian Chao Khun Upali4 patah kakinya, dan 

Ajaan Mun datang menjenguknya. Beberapa waktu kemudian, Putri 

Noi, ibu dari Chao Phraya Mukhamontri, meninggal, dan upacara 

pemakamannya diadakan di Wat Debsirin. Karena sebelumnya Putri 

Noi yaitu  salah seorang pengikut Ajaan Mun, saat beliau berdiam di 

~ 38 ~


Udon Thani. Beliau menghadiri upacara pemakamannya. Penahbisku 

dan aku juga diundang, dan aku bertemu Ajaan Mun saat upacara 

kremasi. Aku sangat gembira, tetapi tidak dapat kesempatan bahkan 

untuk mengucapkan satu kata saja kepada beliau. Maka aku bertanya 

kepada Chao Khun Phra Amarabhirakkhit di mana Ajaan Mun menetap, 

dan ia menjawab, “Di Wat Boromnivasa.” Dalam perjalanan pulang dari 

pemakaman, aku mendapatkan ijin dari penahbisku untuk mampir 

ke Wat Boromnivasa dan memberikan penghormatan kepada Ajaan 

Mun.

Dalam masa empat tahun penahbisanku sebagai bhikkhu, ini yaitu  

pertemuan pertamaku dengan Ajaan Mun. sesudah  aku memberikan 

penghormatan, ia membacakan satu parita singkat kepadaku dalam 

teks, “Khina jati, vusitam brahmacariyanti,” yang arti singkatnya, “Sang 

Buddha, sesudah  membebaskan diri dari penderitaan, menemukan 

kebahagiaan. Ini yaitu  kehidupan suci yang termulia.” Hanya itu 

yang dapat aku ingat, tetapi aku merasa, duduk dan mendengarkannya 

berbicara beberapa saat, membuat pikiranku lebih tenang dari pada 

ketenangan yang aku rasakan dengan berlatih sendiri di tahun-tahun 

belakangan ini. 

Pada akhirnya, beliau berkata kepadaku, “kamu harus ikut denganku. 

Mengenai penahbismu, aku akan memberitahukannya sendiri.” Inilah 

seluruh percakapan kami. Aku bernamaskhara kepadanya dan kembali 

ke Wat Sra Pathum.

Ketika aku memberitahukan kepada penahbisku tentang pertemuanku 

dengan Ajaan Mun, ia hanya duduk berdiam diri. Hari berikutnya, Ajaan 

Mun datang ke Wat Sra Pathum dan berbicara kepada penahbisku, 

mengatakan bahwa ia ingin mengajak aku bersamanya ke utara. 

Penahbisku memberikan persetujuannya. 

~ 39 ~


Aku mulai mengemas barang keperluanku dan mengucapkan selamat 

tinggal kepada temanku dan upasaka di vihara. Aku bertanya kepada 

salah seorang upasaka di vihara berapa banyak uang yang tersisa untuk 

biaya perjalananku, dan ia memberitahu aku, “tiga puluh satang.” 

Jumlah itu tidaklah cukup untuk membayar biaya perjalananku sampai 

ke Stasiun HuaLamphong, yang pada saat itu naik mencapai lima puluh 

satang. Maka aku memberitahu Ajaan Mun, dan beliau meyakinkanku 

kalau beliau akan mengurus semuanya. 

Sehari sebelum hari pengkremasian jenazah Putri Noi,5 Ajaan Mun 

diundang untuk berkhotbah di rumah Chao Phraya Mukhamontri, 

dan sesudah  itu menerima dana sebagai berikut: satu set jubah, satu 

kaleng minyak tanah dan delapan puluh Baht. Kemudian, Ajaan Mun 

memberitahuku bahwa satu set jubah ia berikan kepada seorang 

bhikkhu di Wat Boromnivasa, minyak tanah ia berikan kepada 

Phra MahaSombuun, dan uang, ia berikan kepada orang yang 

membutuhkannya, sisanya hanya cukup untuk biaya perjalanan dua 

orang, yaitu beliau dan aku. 

sesudah  beberapa saat Chao Khun Upali mempersilakan Ajaan Mun 

kembali ke utara, kami naik kereta menuju Uttaradit, di sana kami 

menetap di Wat Salyaphong, vihara yang dibangun oleh Chao Khun 

Upali. Sebelum naik kereta api cepat di Stasiun Hua Lamphong, kami 

bertemu Mae Ngaw Nedjamnong, yang datang ke Bangkok — apakah 

ia akan menghadiri pemakaman Putri Noi atau tidak, aku tidak 

mengetahuinya. Mae Ngaw yaitu  seorang siswa lama dari Ajaan Mun, 

dan ia setuju untuk menyokong kebutuhan-kebutuhan kami selama 

perjalanan. 

Pada masa itu, Ajaan Tan yaitu  kepala vihara di Wat Salyaphong. 

Kami berdiam di sana beberapa hari, kemudian pergi berdiam di dalam 

~ 40 ~


hutan kecil di belakang vihara, agak jauh dari tempat kediaman para 

bhikkhu. Tempat ini sunyi, terpencil, baik siang maupun malam.

Suatu hari aku berselisih paham dengan Ajaan Mun dan ia mengusirku. 

Meski aku merasa gusar, aku memutuskan untuk tidak menunjukan 

perasaanku, maka aku tetap tinggal bersamanya dan melayani 

kebutuhan-kebutuhannya seperti biasa.

Keesokan paginya – diawal bulan Januari, menjelang akhir bulan 

purnama ke dua – dua orang bhikkhu datang mencari Ajaan Mun 

dengan berita bahwa salah satu murid beliau menderita penyakit serius 

di Chieng Mai. Kedua bhikkhu itu melanjutkan perjalanan menuju 

Bangkok. Kemudian Ajaan Mun dan aku meninggalkan Uttaradit 

menuju Chieng Mai. sesudah  tiba, kami berdiam di Wat Chedi Luang. 

Murid yang sakit tersebut ternyata telah menjadi umat awam – ia 

yaitu  Nai Biew dari daerah San Kampheng – menderita penyakit 

mental. Kakak tertua dan kakak iparnya membawanya ke Wat Chedi 

Luang, dan Ajaan Mun menyembuhkannya dengan bermeditasi. 

Pada tahun itu, aku menghabiskan masa vassa di Wat Chedi Luang. 

Ketika kami baru sampai di sana, sudah banyak bhikkhu yang menetap 

di vihara tersebut. Tetapi saat masa vassa mendekat, mereka satu 

persatu meninggalkan vihara untuk menetap di bukit. Awalnya, Ajaan 

Mun menyuruhku untuk pergi ke bukit-bukit juga, tetapi aku menolak. 

Aku berkata kepada beliau kalau aku akan menetap dengannya dan 

menyiapkan kebutuhan-kebutuhannya sepanjang masa vassa. Pada 

akhirnya ia menyetujuinya. 

Pada tahun 1931, Chao Khun Upali meninggal. Aku melewati masa 

vassa bersama dengan Ajaan Mun, memerhatikan kebutuhan-

kebutuhannya dan meditasiku sendiri. Beliau membalasnya dengan 

~ 41 ~


memberikan petunjuk detail latihanku. Setiap malam, ia menyuruhku 

mendaki dan duduk bermeditasi di sisi utara Cetiya yang Agung. Di 

sana ada  rupang Buddha besar – masih ada hingga hari ini – dan 

Ajaan Mun berkata kepadaku bahwa tempat ini yaitu  tempat yang 

sangat menguntungkan, karena relik dari Sang Buddha yang terkenal 

itu sering dibawa ke sana. Aku melaksanakan petunjuk yang diberikan 

oleh Ajaan Mun. Beberapa malam aku duduk semalam suntuk, tanpa 

tidur. 

Kami tinggal di gubuk kecil di dalam hutan pepohonan pisang. Nyonya 

Thip dan Luang Yong, kepala polisi, telah membangun gubuk dan 

memberikannya kepada Ajaan Mun. Nai Thip yang bekerja sebagai 

karyawan di kantor keuangan pemerintah, dan istrinya yang bernama 

Nang Taa memberikan dana makanan yang cukup kepada Ajaan Mun 

setiap hari. 

Aku melaksanakan latihan yang tetap bersama dengan Ajaan Mun selagi 

kami pergi berpindapatta. Sepanjang perjalanan, beliau terus-menerus 

memberikan aku pelajaran-pelajaran bermeditasi. Jika lewat di depan 

seorang gadis cantik, beliau berkata, “Lihat ke sana. Apakah kamu 

pikir dia cantik? Lihat lebih teliti. Lihat sampai ke dalamnya.” Apa pun 

yang kita lewati – rumah atau jalanan – beliau selalu menjadikannya 

obyek pembelajaran. 

Pada waktu itu, aku berusia dua puluh enam tahun. Saat itu yaitu  

masa vassa ke limaku dan aku merasa masih muda, beliau selalu 

memberi aku pelajaran-pelajaran dan peringatan-peringatan. Beliau 

memerhatikan kemajuanku. Tetapi ada satu hal yang membuatku 

bingung, yang berhubungan dengan jubah-jubah dan keperluan-

keperluan lain yang biasa danakan oleh umat awam. Kadang-kadang 

beliau meminta apa pun barang bagus yang aku dapat dan diberikan 

~ 42 ~


kepada orang lain. Aku tidak mengerti mengenai hal ini. Kapan pun aku 

mendapat barang bagus atau baru, beliau memerintahkan aku untuk 

mencuci dan mencelupnya dalam air dengan tujuan untuk membuang 

warna aslinya. Katakan aku mendapat saputangan atau handuk putih 

baru yang bagus: beliau memerintahkan aku untuk mencelupnya 

dengan warna coklat dari cairan inti kayu pohon nangka. Kadang-

kadang beliau sampai harus memerintahku beberapa kali, dan jika aku 

tidak mematuhinya, beliau mencelupnya sendiri. Beliau lebih suka 

mencarikan jubah-jubah yang tua, lapuk, menambalnya sendiri, dan 

kemudian memberikannya kepadaku untuk dipakai. 

Pada suatu pagi, aku pergi berpindapatta bersama-sama dengan beliau, 

melewati kantor polisi. Kami melewati seorang wanita yang sedang 

membawa barang-barang ke pasar, tetapi pikiranku dalam kondisi 

yang baik: pikiranku tidak menyimpang dari jalur yang kami telusuri. 

Aku mengendalikannya dengan baik. Lain waktu, ketika aku berjalan 

sedikit di belakang beliau – beliau berjalan cepat, tetapi aku berjalan 

pelan-pelan – aku melihat beliau mendatangi, celana panjang polisi 

bekas yang dibuang di sisi jalan. Beliau menendang celana panjang 

itu sepanjang jalan – aku berpikir sepanjang jalan mengenai hal ini. 

Akhirnya ketika beliau mencapai pagar di sekitar kantor polisi, ia 

membungkuk, mengambil celana panjang dan mengikatkan di bawah 

jubahnya. Aku bingung. Apa yang ingin ia lakukan dengan sampah 

bekas seperti itu? 

sesudah  kami kembali ke gubuk, ia meletakan celana panjang itu di tali 

jemuran. Aku menyapu dan lalu menyiapkan tempat duduk. sesudah  

kami selesai makan, aku memasuki kamarnya dan merapikan tempat 

tidurnya. Suatu hari beliau menegurku, beliau mengatakan aku tidak 

rapi dan tidak pernah menaruh barang di tempat yang tepat – tetapi 

beliau tidak pernah berkata kepadaku di mana tempat yang tepat itu. 

~ 43 ~


Meskipun aku berusaha sebaik mungkin untuk menyenangkan beliau, 

ia masih bersikap keras kepadaku selama masa vassa itu. 

Beberapa hari kemudian celana panjang itu telah menjadi tas pundak 

dan ikat pinggang: aku melihatnya tergantung di tembok. Dan 

beberapa hari sesudahnya, beliau memberikan barang itu kepadaku 

untuk digunakan. Aku ambil dan melihatnya, banyak tambalan dan 

sulaman. Dengan semua barang bagus yang tersedia di sini, mengapa 

ia memberikan aku barang seperti ini? 

Bersama-sama dengan Ajaan Mun, sangat baik dan juga sangat sulit. 

Aku ingin mempelajari segala hal yang baru. Supaya dapat tinggal 

bersamanya beberapa waktu, Anda harus rajin dan sangat hati-hati. 

Anda tidak boleh membuat bunyi ketika berjalan di lantai, Anda 

tidak boleh meninggalkan jejak kaki di lantai, Anda tidak boleh 

bersuara ketika Anda meneguk air atau membuka jendela atau pintu. 

Anda harus memiliki pengetahuan terhadap segala sesuatu – seperti 

menggantung, menyimpan, melipat dan merapikan jubah, merapikan 

alas duduk, merapikan tempat tidur, dan lain-lain. Jika tidak, beliau 

akan mengusir Anda keluar, bahkan di tengah-tengah masa vassa. 

Karena itu anda harus berusaha keras dan menggunakan kekuatan 

pengamatan Anda.

Setiap hari, sesudah  menyantap makanan, aku pergi ke dalam 

kamarnya, mengeluarkan mangkuk patta dan jubahnya, merapikan 

tempat tidurnya, alas duduk, tempolong, teko teh, bantal, dan lain-

lain. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan itu sebelum beliau 

masuk kamar. sesudah  selesai, aku mencatat tempat-tempat aku 

menempatkan barang-barang itu, bergegas ke luar kamar dan masuk 

ke kamarku sendiri, yang hanya dipisahkan oleh dinding daun pisang. 

Aku membuat lubang kecil agar aku bisa mengintip Ajaan Mun dan 

~ 44 ~


barang kepunyaannya. Ketika beliau masuk ke kamar, beliau melihat 

dengan seksama, memeriksa berbagai hal. Beberapa barang diambil 

dan dipindahkannya; yang lain tidak. Aku harus mengamati dengan 

seksama dan memerhatikan dimana barang-barang itu ditaruh.

Keesokan paginya, aku melakukannya lagi, menempatkan barang-

barang ditempat dimana beliau letakkan seperti yang telah kulihat. 

Akhirnya di pagi hari, sesudah  aku selesai menempatkan barang-barang 

itu dan kembali ke kamarku untuk mengintip melalui lubang,kemudian 

beliau masuk ke dalam kamar, duduk sejenak, melihat ke kiri dan ke 

kanan, ke atas dan ke bawah – dan tidak menyentuh satu barang pun. 

Bahkan ia tidak membalik kain tempat tidurnya. Ia hanya mengucapkan 

parita singkat dan beristirahat sejenak. Melihat ini, aku sangat gembira 

karena telah melayani guruku dengan baik.

Dalam hal lainnya – seperti meditasi duduk dan jalan – Ajaan Mun 

membimbingku dengan berbagai cara. Tetapi aku hanya sanggup 

menyerapnya enam puluh persen saja. 

~ 45 ~

Pada akhir masa vassa, pemakaman Chao Khun Upali diadakan di Wat 

Boromnivasa, dan hampir semua sesepuh para bhikkhu di Wat Chedi 

Luang pergi ke Bangkok untuk membantu. Kepala vihara meminta Ajaan 

Mun untuk mengurus vihara selama ia tidak ada di tempat. sesudah  

pemakaman selesai, sepucuk surat datang ke Ajaan Mun, memberikan 

ijin kepadanya untuk menjadi penahbis. Ketika Ajaan Mun membuka 

surat, beliau menemukan ada tambahan lagi, disamping surat yang 

memberikan ijin kepadanya untuk menjadi penahbis, juga surat untuk 

menerima posisi sebagai kepala vihara di Wat Chedi Luang. Chao 

Kaew Nawarat, pangeran Chieng Mai telah mempersiapkan segalanya. 

Apakah Ajaan Mun akan mengambil alih tugas-tugas kepala vihara 

sebelumnya? Inilah ringkasan dari surat itu. Ketika Ajaan Mun selesai 

membaca, beliau berkata kepadaku. “Aku harus meninggalkan Wat 

Chedi Luang.”

Dua hari sesudah  masa vassa berakhir, beliau menyuruhku pergi ke 

gunung provinsi Lamphun,  suatu tempat di mana beliau sendiri pernah 

tinggal. Aku berdiam sekitar sepuluh hari di kaki gunung tersebut. 

Sampai pada suatu hari, sekitar pukul tiga sore, saat aku sedang duduk 

bermeditasi, ada satu peristiwa. Seolah-olah ada seseorang datang 

dengan suatu pesan. Aku mendengar suara berkata, “Besok Anda harus 

pergi ke puncak gunung.” 

Bagian 4

~ 46 ~


Hari berikutnya, sebelum aku naik ke puncak gunung, aku pergi 

berdiam ke suatu reruntuhan vihara tua yang dikatakan sebagai tempat 

yang sakral. Penduduk mengatakan kepadaku bahwa pada setiap bulan 

purnama, suatu cahaya terang sering kali muncul ke sana. Tempat itu 

jauh di dalam hutan – hutan itu penuh dengan gajah dan harimau. Aku 

berjalan masuk sendirian, dengan perasaan takut dan berani, tetapi 

aku yakin dalam kekuatan Dhamma dan guruku. 

Aku tinggal selama dua malam. Malam pertama, tidak terjadi apa pun. 

Malam ke dua, sekitar pukul satu atau dua dini hari, seekor harimau 

datang – yang artinya aku tidak dapat tidur sepanjang malam. Aku 

duduk bermeditasi dengan perasaan takut, selagi harimau itu berjalan 

mengelilingi tenda payungku. Aku terpaku diam. Aku memulai 

membaca parita, dan kata-kata keluar seperti air mengalir. Semua 

parita lama yang aku sudah lupa, sekarang teringat kembali, terima 

kasih kepada ketakutanku dan kemampuanku untuk mengendalikan 

pikiranku. Aku duduk dengan posisi seperti ini dari pukul dua sampai 

dengan pukul lima pagi, kemudian harimau itu pergi. 

Besoknya aku berpindapatta di desa kecil yang hanya terdiri dari 

dua rumah tangga. Salah satu dari pemilik rumah tersebut sedang 

bekerja di kebunnya, dan ketika ia melihatku, ia berkata kepadaku 

bahwa semalam seekor harimau telah datang dan memakan salah satu 

kerbau miliknya. Hal ini membuatku jadi lebih takut lagi, sesudah  aku 

menyantap makananku, aku naik ke puncak gunung. 

Dari puncak gunung, Anda bisa melihat cetiya Wat Phra Dhatu 

Haribhunjai di kota Lamphun. Gunung itu bernama Doi Khaw Maw. 

Di puncak gunung itu, ada  mata air yang dalam – sangat dalam 

sehingga tidak seorang pun yang dapat mengukur kedalamannya. 

Airnya sangat jernih dan dikelilingi oleh rupang kepala Buddha. Turun 

~ 47 ~


sekitar dua meter dari daratan, Anda akan mencapai permukaan mata 

air. Orang bilangbila seseorang kecebur ke mata air itu, tidak akan 

tenggelam, dan Anda tidak bisa menyelam ke bawah air. Kaum wanita 

dilarang keras pergi ke mata air. Jika wanita masuk, maka dia akan 

akan kehilangan kesadaran. penduduk di wilayah itu menganggap 

seluruh bagian gunung tersebut sebagai tempat suci. 

Ajaan Mun telah berkata kepadaku bahwa ada mahluk yang berdiam di 

gunung tersebut, tetapi tidak akan menyakiti maupun menggangguku, 

karena mereka mengenal Dhamma dan Sangha. Hari pertama sesudah  

mencapai puncak gunung, aku tidak makan apa pun. Malam itu  aku 

merasa pusing – Seluruh bagian gunung tampak berayun-ayun seperti 

perahu terombang-ambing di tengah laut yang berombak kecil – Tetapi 

pikiranku berada dalam keadaan tenang, dan tidak merasa ketakutan. 

Hari berikutnya, aku bermeditasi duduk dan jalan di reruntuhan kuil 

yang sudah lama ditinggalkan. Dari tempat aku berdiam, desa terdekat 

untuk aku berpindapatta berjarak lebih dari tiga kilometer, kemudian 

aku bertekad, “aku tidak akan makan kecuali jika seseorang membawa 

makanan ke sini.” Malam itu aku sakit perut dan pusing, tetapi tidak 

separah malam sebelumnya. 

Pada sekitar pukul lima pagi keesokan harinya, tepat sebelum subuh, 

aku mendengar suara gumanan dan suara terengah-engah di luar kuil. 

Awalnya aku kira itu yaitu  suara seekor harimau, tetapi sesudah  aku 

mendengarkan lebih seksama, lebih terdengar seperti suara manusia. 

Sisi gunung tersebut sangat curam – tidak terlalu curam untuk mendaki, 

tetapi aku dapat menjamin cukup curam untuk menuruninya. Jadi siapa 

yang datang ke sini? Aku penasaran, tetapi tidak berani meninggalkan 

kuil atau tenda payungku sampai terang di luar. 

Ketika fajar menyingsing, aku ke luar dan di sana, di sisi kuil, ada 

~ 48 ~


seorang wanita tua – kira-kira berusia tujuh puluh tahun – duduk 

beranjali. Dia membawa nasi terbungkus daun pisang, yang ingin dia 

masukkan ke dalam mangkuk pattaku. Dia juga memberikan aku dua 

jenis obat, yaitu beberapa akar dan lembaran kulit kayu. Dia berkata, 

“Ambil obat ini, giling dan makanlah, maka sakit perutmu akan 

sembuh.” Waktu itu, aku sedang menjalankan vinaya bhikkhu dengan 

ketat. Karena dia yaitu  seorang wanita, aku tidak mengucapkan kata-

kata lagi kepadanya. sesudah  selesai makan – sebungkus nasi ketan dan 

akar-akaran dan kuilt kayu – aku membacakan parita untuk wanita 

itu, dia pergi ke bawah dan menghilang di sisi barat gunung.

Sekitar pukul lima sore, seseorang datang ke puncak gunung dengan 

surat untukku dari Ajaan Mun. Mengatakan, “Segera kembali. Aku 

harus meninggalkan Wat Cetiya Luang besok pagi, karena kereta api 

ekspres dari Bangkok akan tiba di malam hari.” Aku segera turun 

gunung, sesampainya di desa Paa Heo malam telah larut, aku bermalam 

di kuburan di sana. Ketika aku tiba di Wat Cetiya Luang, Ajaan Mun 

telah berangkat. 

Aku bertanya-tanya, tetapi tidak seorang pun yang tahu kemana beliau 

telah pergi – meninggalkan aku tanpa pemberitahuan kemana dan 

bagaimana mencari beliau – Firasatku mengatakan kalau beliau pergi 

menuju utara ke Keng Tung yang berarti aku harus segera menuju 

Keng Tung, tetapi aku tidak bisa, karena ada dua hal yang Ajaan Mun 

telah katakan kepadaku selama masa vassa ini: 

1) “Aku menghendaki kamu untuk membantuku dalam tahapan 

latihan, karena aku melihat tidak ada orang lain yang dapat 

melakukannya.” Saat itu aku tak mengerti apa yang beliau 

maksudkan dan menganggapnya angin lalu. 

2) “Wilayah Chieng Mai telah menjadi kediaman bagi sejumlah besar 

~ 49 ~


petapa sejak zaman dahulu. Jadi sebelum kamu meninggalkan 

wilayah ini, aku meminta kamu untuk menetap di puncak Doi 

Khaw Maw, di gua Buab Thawng dan di gua Chieng Dao.” 

sesudah  tinggal beberapa hari di Wat Chedi Luang, aku berangkat 

ke wilayah Doi Saketdi sana aku berdiam di gua Tham Myyd, dekat 

desa Myang Awm. Gua ini aneh dan luar biasa. Di puncak gunung itu 

ada  rupang Buddha – aku tidak mengetahui berasal dari tahun 

berapa. Di tengah-tengah gunung ada  retakan yang dalam. Di 

atas retakan tersebut, ada  papan kayu jati yang berfungsi sebagai 

jembatan. sesudah  melewati jembatan itu dan memasuki gua, suasana 

menjadi gelap gulita, maka aku menyalakan lentera dan melanjutkan 

perjalanan. Aku sampai ke jembatan lainnya – kali ini segelondongan 

kayu jati – menyeberanginya, di sini, udara mulai terasa dingin. 

Menyeberangi jembatan ke dua ini, aku tiba di suatu gua yang sangat 

lebar. Dapatku katakan, gua ini bisa memuat paling kurang tiga ribu 

orang. Lantai gua ini rata dengan sedikit bergelombang, seperti riak 

air. Lurus ke depan menuju tengah gua ada  stalagmit yang sangat 

mengagumkan, seputih awan kumulus dengan ketinggian delapan 

meter dan luasnya sepanjang dua orang dewasa merentangkan 

tangan. Di sekitar stalagmit itu ada  bejolan lingkaran kecil – 

seperti benjolan yang ada ditengah-tengah gong – tiap benjolan 

berukuran setengah meter. Di dalam lingkaran itu lubang yang dalam. 

Seluruh tempat ini putih memesonakan dan sangat indah. Udara di 

sini sangat tipis dan sinar matahari tidak tembus ke dalam. Ajaan 

Mun mengatakan kepadaku bahwa para naga datang ke sini untuk 

memberikan penghormatan:Stalagmit itu yaitu  cetiya mereka. Aku 

ingin bermalam di sana, tetapi udara sangat tipis, aku sulit bernafas, 

aku tidak berani tinggal. Aku ke luar dari gua. 

~ 50 ~


Gunung ini berjarak sekitar tiga kilometer dari desa terdekat. Penduduk 

di daerah itu berkata bahwa pada awal masa vassa, gunung itu akan 

mengeluarkan suara auman. Apa bila suara auman itu terdengar keras 

di tiap tahunnya maka aka nada hujan dan panen berlimpah. 

Hari itu, aku kembali berdiam di desa, yang berbatasan dengan daerah 

Doi Saket. sesudah  beristirahat di sana beberapa hari, aku berjalan ke 

Baan Pong, di mana aku bertemu seorang bhikkhu yang bernama Khien, 

yang pernah menetap bersama Ajaan Mun. Aku bertanya kepadanya 

di mana Ajaan Mun, tetapi jawabannya ia tidak mengetahuinya. 

Kemudian aku berbicara dengannya untuk bersama-sama mengelilingi 

daerah Doi Saket. 

Kami berdiam selama satu malam di dalam gua di tengah-tengah 

hutan, jauh dari perkampungan. Gua itu bernama gua Buab Thawng. 

Untuk mencapai gua tersebut, Anda harus berjalan kaki sejauh sepuluh 

kilometer dari hutan yang belum terjamah oleh manusia. Penduduk di 

sana mengatakan ada sesosok mahluk halus menakutkan yang tinggal 

di dalam gua. Siapa pun yang mencoba untuk bermalam di sana, akan 

terjaga semalam suntuk karena merasakan ada sesosok mahluk yang 

menginjak kakinya, perutnya, punggungnya, dan lain-lain – yang 

menyebabkan orang-orang ketakutan akan gua tersebut. Ketika aku 

mendengar hal ini, aku ingin menguji kebenaran dari desas-desus 

itu. Ajaan Mun sendiri pernah mengatakan kepadaku kalau Bhikkhu 

Chai pernah datang ke gua ini untuk bermalam, tetapi tidak bisa tidur 

karena ia mendengar bunyi dari seseorang yang keluar masuk gua 

semalam suntuk. 

Gua itu sangat dalam dan hening, Ajaan Mun berkata kepadaku untuk 

datang dan bermalam di sini. Kesimpulan yang didapat selama aku 

bermalam di sana yaitu  tidak terjadi keanehan. Kami sama sekali 

tidak mengalami keanehan apa pun. 

~ 51 ~


sesudah  meninggalkan gua itu, kami bertemu bhikkhu lain yang 

bernama Choei. sesudah  berbicara sebentar, lalu aku mengundang dia 

untuk pergi mengembara bersama-sama di sekitar daerah Doi Saket 

ini. mengenai Phra Khien, ia meninggalkan kita dan kembali ke Baan 

Pong.

Suatu hari, ketika aku sedang mengembara bersama Phra Choei, 

beberapa penduduk desa membangun tempat kecil bagi kita untuk 

tinggal di kuburan yang besar. Kuburan itu dipenuhi oleh liang kubur 

dan ditandai dengan sisa-sisa dari api untuk kremasi. Tulang-tulang 

yang berwarna putih berserakan dimana-mana. Phra Choei dan aku 

berdiam di sana selama beberapa waktu. 

Kemudian beberapa penduduk desa datang dan mengundang Phra 

Choei untuk tinggal di tempat lain, yang berarti aku harus tinggal di 

kuburan sendirian. Sekitar enam meter dari tempatku ada  sisa 

api kremasi. 

Beberapa hari kemudian, se